Rabu, 28 April 2010

cerpen - Menghitung Caleg Gila

cerpen - Menghitung Caleg Gila


Gila Berhitung

Cerpen Muhamad Nasir



Soal berhitung, Rudi paling jago. Sebelum sekolah pun, dia sangat fasih menghitung jumlah ekarnya*. Dia juga tahu betul bagaimana supaya ekarnya tak berkurang. Sehingga di kalangan teman-temannya dia dipanggil si kancil. Tubuhnya memang kecil dibanding umurnya.

Tapi ternyata seperti kata tetangganya, orang yang kecil itu memang biasanya seperti Rudi. ”Contohnya saja,  orang Jepang. Soalnya antara otak dan pantatnya dekat. Atau Pak Habibie, orangnya kecil ternyata bisa menjadi orang besar,” kata tetangga Rudi saat berbincang di pos ronda  ketika si kancil itu lewat membawa sekantong ekar hasil permainannya.

Selain bisa menambah, Rudi memang pandai mengurang, mengali sekaligus membagi. Tidak seperti  orang kebanyakan, yang biasanya  sulit ketika diminta untuk membagi.

Itulah pula   yang membuat Rudi selalu diajak bermain ekar meskipun teman-temannya selalu kalah dan kehabisan modal.

Rudi tak segan-segan memberi pinjaman bahkan terkadang memberi modal kepada temannya yang kalah. Atau terkadang teman yang ingin main tapi tak punya ekar pun diberinya modal.

”Nanti juga kan baliknya ke saya juga. Saya ada hitung-hitungan. Tak bisa mengembalikan dengan ekar juga, pake uang juga bisa. Atau dengan bayaran lain, bersedia disuruh-suruh juga tak apa,” pikir Rudi bergumam ketika sedang berada di kamar kecil rumahnya yang ukurannya cukup luas.

Ayahnya yang berada memang tak kekurangan untuk memberikan apapun bagi anaknya. Termasuk makanan bergizi dan enak.

Mungkin karena faktor tertentu saja, Rudi pun tumbuh lamban secara fisik.Meskipun ternyata pertumbuhan akalnya justru berbanding terbalik.

Ketika sudah sekolah, warga di kampung  itu bersyukur karena ternyata Rudi cukup pintar. Masih kelas I, dia sudah bisa membaca. Diminta gurunya menghitung, lebih  dari seribu dia sudah bisa.

Apalagi, kalau menghitung uang kembalian di warung, dia sering diminta bantuan kala kalkulator Wak Lam, warung laris di kampungnya ngadat. Juga, kalau ada Wak Lintai, penjual pempek keliling yang agak sulit menghitung kembalian kalau uang yang disodorkan di atas 20 ribuan.

Pun, waktu Ketua RT menghitung uang hasil pumpunan warga untuk merayakan peringatan kemerdekaan. Kecuali menghitung uang penjualan beras untuk rakyat miskin, Pak RT paling takut kalau ada Rudi. Soalnya, takut ketahuan kalau ada tilep-tilep dikitnya ketahuan.

Hingga beberapa tahun kemudian Rudi yang cukup aktif berorganisasi akhirnya nyantol di sebuah partai baru. Meski jumlah partai lebih dari 40, tak susah baginya menghitung-hitung kemungkinan perolehan angka.

Ketua partai di daerahnya pun meletakkan nama Rudi bukan di nomor   sepatu. Dia di tarok di nomor jadi. Biar mudah menghitung perolehan suara nanti.
Hanya saja, kasak-kasak kusuk yang beredar di internal partai baru itu, ada faktor lain yang membuat nama Rudi di atas. “Biasalah,” ujar Darmawan, seorang tokoh yang tak sedikit jasanya dalam perkembangan partai tersebut yang kemudian justru berada di bawah nama Rudi. Dia tak berani terlalu sinis, namun dalam berbagai kesempatan dia selalu menaburkan kata-kata beracunnya. Sekedar memuaskan hati.

Soal kampanye, Rudi memang jago. Apalagi timnya juga tak sedikit. Laporan dari tim suksesnya, 80 persen suara bisa diperoleh, dan diyakini dia bisa menempati salah satu ruangan di gedung perwakilan nanti.

Semakin bagus laporan, semuanya semakin lancar. Apalagi, itu semakin mempermudah Rudi memperhitungkan prediksi perolehan suara.

”Kita lihat saja nanti, politik tak bisa disamakan dengan matematika. Jangan khawatir, belum tentu dia jadi,” ujar calon separtai Rudi yang merupakan rekan sekaligus rival.  Apalagi, ternyata dia sudah terlalu sering dikadali Rudi sejak kecil dalam berbagai permainan. Meski, kemudian dengan licinnya, Boim yang juga teman sekelas Rudi ini, tak selalu kalah di akhir permainan.

”Kita boleh kalah berhitung, tapi jangan kalah bertanding,” begitu motto Boim, yang selalu disampaikan usai permainan ekar. Sayangnya, Rudi tak pernah mendengar gumaman ini.

Diprediksi, politikus muda ini bisa menghimpun suara. Apalagi, hitungan dana yang mengalir uangnya tak berseri lagi.

Tim sukses pun memberikan jaminan dengan mengangkat jempol.
Sehingga makin ramai saja rumah besar itu dihampiri orang-orang. Dari yang sekedar mampir, ikut berjuang, sampai mereka yang memancing di kolam berikan. Ambil ikannya, tanpa perlu punya kolam.

Bagi Rudi, bayangan gedung dewan sudah di pelupuk mata. Dia sudah menghitung banyaknya tiang gedung itu. Lalu jumlah gentengnya, dan berapa banyak rakyat yang nantinya bisa diperjuangkan.

Jumlah bendera, leaflet, iklan, spanduk, reklame yang memancangkan foto berwarnanya tak terhitung lagi. Tapi, dia sungguh hapal. Berapa yang ada di sekitar jembatan Ampera. Ada berapa yang lepas di sekitar Mesjid Agung. Atau beberapa yang diturunkan mahasiswa di kampus-kampus perguruan tinggi swasta maupun negeri yang tak terima kampusnya dijadikan ajang kampanye.

Begitu juga, hasil cetakan yang dipesan. Berapa yang cacat, jumlah yang harus dikembalikan dan dicetak ulang, atau berapa banyak lagi percetakan yang masih belum mengembalikan kelebihan pembayaran.

Prinsipnya memang cucok dengan partainya. Calon dari partainya memang tak banyak-banyak, cuma 4 orang. Sehingga, terbayanglah, dia yakin terunggul dalam perolehan suara di partainya.
”Tapi dia lupa, saingannya bukan calon separtai. Tetapi calon dari partai lain. Kalau perolehan suara partainya saja kurang, tak bakal ada yang jadi calonnya. Karena yang dihitung terlebih dahulu adalah perolehan partai,” kata anggota KPU yang menguasai teknis penghitungan dan meragukan Rudi bakal gagal merealisasikan keinginannnya.

Sebulan setelah pesta rakyat. Kala suara perolehan sudah dihitung, Rudi semakin jago menghitung. Tanpa kalkulator di tangan, dia mengitari rumahnya. Seolah memegang mesin hitung, dia menambah, mengurang, mengali, dan terkadang membagi. Lalu menjumlah. Hasilnya, dia tertawa.

Itu dilakukannya setiap pagi dan siang. Nbahkan terkadang sampai malam. Yang dihitungnya, mulai dari kasbonkasbon laporan tim sukses hingga jumlah keramik di lantai rumahnya. Juga, jumlah genteng atap rumahnya. Termasuk, jumlah jas dan saparinya yang sudah disiapkan untuk dipakai saat menghadiri rapat di fraksi ataupun di komisi seandaainya dia bisa jadi.

Tuntas semua benda di rumah dan sekitar rumahnya dihitung, dia pun meluas ke tetangganya. Pun, rumah Pak RT. Bahkan, mesjid pun tak lupa dihampirinya. Jumlah celengan, berapa isinya, berapa total sumbangan yang diterima, dan untuk apa dana itu digunakan. Pembukuan di papan pengumuman mesjid juga dilalapnya.

Pak RT bahkan sedikit grogi     ketika Rudi menghitung jumlah raskin yang diterima dan warga yang berhak menerimanya. Namun, bisa sedikit tersenyum ketika mengetahui pandangan mata Rudi, kosong. Hampa dan tak memberikan respon ketika bertatapan dengan orang-orang yang dikenalinya.

Ketika televisi menyiarkan hasil perolehan suara para calon legislatif, Rudi justru menghitung uban seorang nenek yang mampir ke rumahnya dan menyorongkan karung minta diisi beras. Dengan cepat, karung itu pun diisi rudi sebanyak 2,5 liter.

Tinggal kini, ayahnya yang sibuk mengupayakan agar anaknya berhenti menghitung. Disarankan, agar Rudi dimintai tolong untuk menghitung perawat dan dokter di rumah sakit. Kalau saja, hitungannya tak meleset.

Masih pagi tadi, seorang bocah, Romlah, dikejar orang tuanya. Karena berani menyebutnya gila. Saat melihat Rudi sibuk menghitung dengan suara yang keras dan seperti mencari sesuatu, dia bertanya kepada ayahnya. ”Lagi ngapain sih Om Rudi itu,” tanya Romlah yang selama ini kenal baik dengan Rudi karena sering dibagi duit dan kaos partai.

Ayahnya menjawab, ”Menghitung dan mencari suaranya yang hilang.”
Mendengar itu, Romlan yang tak mengerti spontan menyebut ayahnya gila. ”Ye, ayah gila ya, kan Om Rudi itu suaranya gak ilang. Tuh, dia masih bisa berhitung. Suaranya masih jelas terdengar. Gila nih ayah,” katanya polos.

Mendengar itu, ayahnya memerah dan sigap melepas sendal. Melihat itu, Romlan yakin di mata ayahnya dia melakukan kesalahan. Biasa, kalau dia ketahuan mengambil uang receh, ayahnya akan melepas sendal jepitnya dan memukulkan ke pantatnya. Supaya aman, jurusnya Cuma satu. Berlari.

Romlan bingung, kenapa ayahnya marahnya sama seperti ketika mengetahui   ia mencuri simpanannya. Padahal, dia merasa tak salah.

Palembang, Oktober 2009


Muhamad Nasir

Jalan Lomba Jaya Gang Jaya, no 1606, rt 25 rw 07, Sekip Palembang. Email: nasirsetr@hotmail.com 




Bio data:

Kelahiran Beringin, 16 Mei 1969. Menulis cerpen dan esai di koran lokal dan nasional sejak 1996. Saat ini, jurnalis dan juga dosen di perguruan tinggi di Palembang. 2007 lalu menerbitkan kumpulan cerpen, Kaos Politik.


Senin, 26 April 2010

cerpen - Motor Tua

cerpen - Motor Tua


Cerpen


Motor Tua

Motor tua itu, sesungguhnya masih bagus. Hanya saja debu dan sarang laba-laba membuatnya seakan menjadi seonggok besi tua tak berguna di sudut gudang. Banyak cerita yang dibawa motor tua itu. Mulai dari masa-masa sekolah pemiliknya, pacaran, kampanye pemilu hingga beralih tangan ke generasi penerus sang pemilik. Anaknya.

Kini, kalau saja motor itu bisa bercerita, dia akan memutar kembali rekaman masa lalunya.

Mulai dari dia ketika dibayar dengan kontan oleh Ibnu Hajar untuk anaknya, Amirullah yang saat itu naik ke kelas III SMA. Itu tahun 1970. Dengan nilai rata-rata 8, Amirullah  dapat kelas paspal. Jurusan paling bergengsi kala itu.

Hadiah dari orang tuanya yang pengusaha ternama di Palembang, sebuah motor. Beroda besar, dengan tanki bensin juga besar. Warnanya hitam.

Tak banyak yang bisa pegang motor ketika itu. Jadilah, dengan celana cutbrai, Amirullah jadi pusat perhatian. Mujur, prestasi belajarnyapun semakin bagus. Dia juga aktif di organisasi sekolahnya. Banyak teman, luas pergaulan, ditambah punya kendaraan tentu saja membuat pemuda Amirullah punya banyak kesempatan.

Tamat SMA, dia pun melanjutkan kuliah ke Pulau Jawa. Motor kebanggaannya dibawa. Pilihan orangtuanya memang tepat. Amirullah tak semata bagai katak dalam tempurung. Pergaulan dan pengalamannya semakin luas.

Bukan saja soal kuliah tapi juga soal wanita. Gonta-ganti pacar bukanlah hal aneh bagi Amirullah. Saksi matanya, motor gede itu.
Dengan suara besar dan jok besar, pantat-pantat gadis pun  tak sedikit telah menikmati empuknya jok motor itu.

Balasannya, tentu sang pemilik pun bisa merasakan getaran gadis-gadis itu. Sampai akhirnya, Amirullah tercantol seorang gadis. Umiyati, namanya. Belum tuntas kuliah, keduanya terikat tali perkawinan.

 Setahun kemudian, lahirnya seorang bayi. Namanya Amiruddin. Dia berumur 3 tahun, sang ayah tamat kuliah. Sang balita dan ibunya diboyong ke Palembang.

Naluri bisnis Amirullah jalan. Organisasinya juga. Dia sukses menjadi pemborong, juga menjadi aktivis partai. Dengan motor besar, waktu kampanye dia turun jalan. Ikut keliling kota bahkan ke daerah-daerah.

Saat pemilihan umum, di partai berkuasa, dia ikut terpilih. Kini, statusnya anggota dewan. Dari luar, semuanya tampak begitu mudah.
Meski sesungguhnya tak segampang itu. Perkawinannya pernah nyaris bubar. Gara-gara sang istri cemburu karena kedekatannya dengan  sekretaris ketika sibuk-sibuknya berpartai.

Kalau saja, dia tak sabar, keinginan cerai istrinya bakal ibarat gayung bersambut. Tapi, dia masih sabar dan memang pandai menyimpan rahasia.

Kecemburuan itu tak terbukti. Meski sesungguhnya memang wajar dicemburui karena hubungan mereka sudah terlalu jauh. Motor hitam gede itulah saksi matanya. Sama seperti dulu ketika dia kuliah.

Begitupun bisnisnya, nyaris roboh. Karena, antara politik dan bisnis pernah tak seimbang. “Beruntung, dengan kedudukan  terhormat sebagai anggota dewan, proyek-proyeknya jalan. Dan pengalamannya  berbisnis membuatnya tahu liku-liku proyek,” tutur sang ayah, Ibnu Hajar kepada rekannya saat masih sehat. Kini, Ibnu Hajar memang sudah meninggal.

Memang, Ibnu Hajar pun tak bisa memastikan, mana posisi anaknya yang lebih menunjang. Apakah status pengusahanya menunjang aktivitas politiknya. Atau, aktivitas politiknya yang  mendukung usaha anaknya.

Yang jelas, keduanya memberikan modal bagi Amrullah untuk mencalon kembali sebagai anggota dewan. Dan dia pun terpilih kedua kalinya. Motor tua tetap menjadi andalannya pada saat menjelang pemilihan umum.

Dia tampak gagah di atas sadel sepeda motor. Iring-iringan sepeda motor tampak gagah dengan dikawal vorider yang meraung-raung sirine dan lampunya berkelap-kelip.

Teriakan dan yel-yel memuji tokoh dan kepartaian Amirullah mengiringnya mendapat posisi sebagai anggota dewan. Dua kali dia duduk di kursi dewan.

Meski tak banyak yang bisa diperjuangkan bagi orang banyak kala menjadi anggota dewan, setidaknya bagi partai dan orang-orang dekatnya, Amirullah adalah orang baik.

Dan memang Amirullah selalu tampil saat sidang dan rapat di gedung dewan. Dia menjadi orang yang paling banyak bicara. Tidakpernah tertidur ketika sidang. Habis, gizinya bagus.
Dan itu diwariskan ke anaknya, Amirudin. Nyaris sama, perjalanan hidup sang anak dengan dirinya dulu. Bedanya, dulu orang tua Amirullah, Ibnu Hajar,  pengusaha murni. Amirullah, pengusaha ya politikus. Dan, anaknya pun diajarkan berorganisasi dan berpolitik.

Di nomor jadi, sang anak pun dipasang.  Dengan motor besar milik ayahnya dia pun kembali mengulang sukses. Terpilih menjadi anggota dewan. Seakan, menggantikan kedudukan ayahnya. Kursi yang pernah diduduki ayahnya dirasakan juga olehnya.

Hanya saja, politik berubah. Ketika pemilu diulang saat memasuki tahun kedua,  ketika masa reformasi bergulir, Amiruddin tak terpilih lagi. Dia terpental.

Usahanya pun kini hancur. Tinggallah, dia hanya mengurusi proyek yang tak dapat tender lagi. Tak sekuat ayahnya dulu. Motor tua itu pun tak terurus.

Motor itu kini mau bercerita banyak. Tapi, adakah orang masih mendengarkan. Masih kah motor besar itu segagah dulu. Saat motor-motor Cina dengan body yang sama besarnya juga kini telah banyak merajai jalanan. Adakah yang mau membersihkan motor itu.


Pemilihan umum kini pun telah berlalu. Dengan metode yang berbeda dari sebelumnya. Amiruddin, bukannya tak ikut. Meski bukan di nomor jadi, dia berjuang setengah mati. Baik itu tenaga maupun biaya.


“Pemilu sekali ini beda. Tak penting nomor urut. Asal banyak yang milih kita bisa jadi,” ujar Amiruddin kepada istrinya yang sebelumnya sempat mengingatkan.

Ketika penghitungan suara molor karena bermasalah, Amiruddin sempat stress. Melihat angka perolehannya seperti sulap yang gagal. Sim salabimnya sepertinya tak mempan lagi. Apalagi, beberapa kali, setelah penghitungan suara usai,  jumlah perolehan suara beberapa kali juga berubah. Tapi anehnya, perolehan suaranya seakan tak bergeming.

Amiruddin memang tak masuk hitungan. Bahkan, partainya pun tak satupun dapat kursi. “Sayang, kamu salah pilih kendaraan. Kalau saja, kendaraan kamu tepat, mungkin gedung dewan bisa kamu masuki lagi,” komentar seorang teman ketika  Amiruddin berkeluh kesah.

Mendengar kendaraan, Amiruddin pun teringat motor peninggalan turun temurun dari orang tuanya. Motor itu sebenarnya memang masih bagus. Tapi sayang, tak masuk dalam sebagian otaknya. Sehingga, hanya teronggok di sudut rumah.

Dia sempat menatap motor itu. Terbayang, betapa gagahnya ketika ayahnya dan dia juga sempat mencicipi pamor motor itu. Tapi apa mau dikata, semuanya telah berlalu. Motor itu memang bukan seakan besi tua. Tapi memang sudah menjadi besi tua.

Amiruddin, hanya bisa berkata motor..motor.. motor.. motor. Dia tak mengenali lagi istrinya. Anaknya. Temannya. Partainya sekalipun. Termasuk lambang partainya. Yang ada di otaknya mungkin motor tua yang gagah sehingga yang naik pun menjadi gagah.

Makanya, meski tanpa motor, kini Amiruddin pun mengelilingi kota seakan naik motor. Mulutnya pun bergetar. Ngg Ngg Ngg Rrrrrr. Menirukan bunyi motor.



Palembang, 20 Juni 2004

Dimuat di sinar harapan, edisi Sabtu 31 Juli 2004


cerpen - Cinta Tak Berbumbu

cerpen - Cinta Tak Berbumbu





Cinta Tak Berbumbu

Cerpen Muhamad Nasir

Ruang kuliah yang dipadati puluhan mahasiswa itu terlihat tenang. Hanya sekitar lima orang dari 35 mahasiswa di ruang itu yang bercengkerama dalam bahasa lisan yang sesekali ditimpali komunikasi nonverbal. Selebihnya, sibuk memindahkan catatan rekannya yang memang memiliki tulisan rapi di papan tulis.

Sebuah buku ilmiah sedang dipindahkan ke papan tulis. Lalu mahasiswa dengan semangat memindahkannya ke buku mereka masing-masing. Sementara sang dosen terlihat sibuk mengutak-atik Iphone-nya. Bersilancar di dunia maya. Tampaknya mencari kutipan dari Google search engine.

Sesekali dia membalas sms melalui HP lainnya. Selintas, penampilan sang dosen memang cukup trendy.
Dengan tas kulit keluaran terbaru, dia memadankannya dengan stelan yang dibelinya dari butik. Memang dalam sebulan, setidaknya dia dua kali mengunjungi butik membelanjakan uang honornya dari beberapa universitas ternama di Palembang.

Ditambah pula, terkadang uang dari hasil menjual buku terbitan teman-temannya waktu kuliah dulu. 

Tak pernah ada protes dari para mahasiswanya. Mereka justru sepertinya menyenangi. Karena terkadang, kalaupun ada dosen yang mengajar dengan banyak lisan, sering obrolannya pun memang membosankan. Karena hanya menceritakannya pengalaman pribadinya. Cerita yang itu-itu saja.

Sebagai dosen senior, di kalangan koleganya ibu yang tak berjilbab itu dikenal masih cukup muda. Karenanya, dia dipanggil ibu dosen muda. Meskipun, di bidang pengalamanan berkeluarga, dia ternyata masih sangat minim.

Karena di banding teman-temanya yang umumnya sudah punya pacar, dia memang tidak ada seujung jarinya pun. Apalagi dibanding dengan mereka yang sudah bersuami, atau sudah punya momongan. Dia memang bahkan belum punya pacar. Dulu memang pernah punya pacar. Tetapi karena dia sibuk melanjutkan pendidikan, sang pacar pun berpaling ke wanita lain.


Mereka sempat beradu argumen. Dengan sistematis dan logis dia menceramahi sang pacarnya yang selisih usianya cukup jauh, sekitar lima tahun dibawahnya. Ketika itu mereka sembari menikmati pempek lenggang* di depan Mesjid Agung.

Di tempat ramai, lelaki itu hanya manggut-manggut. Hanya sesekali dia menyeka bibirnya yang dirasa menebal didera cuka yang dihirupnya menemani lenggang. Penawarnya, diapun menyeruput es belimbing yang dipesannya. Tak ada lagi, segelas berdua.
Apalagi, mereka berdua memesan es berbeda. Yang satu es jeruk, satunya lagi es belimbing. Telinganya pun seperti ikut menebal.

Merasa bersalah, lelaki itu tak berani membantah. Jangankan mengeluarkan kata-kata, mengangkat kepalanya pun tak mampu. Selain itu, memang wanita idaman lainnya, ternyata jauh lebih segar, lincah dan sama-sama masih berjiwa muda.

Karenanya, kala gembira dan bersenang seperti di bioskop Ordeon di 7 Ulu atau Rosida di Jalan Temon, lelaki ini selalu bersama pacarnya yang jauh lebih muda tadi. Begitupun ketika beramai-ramai bersama teman-temannya menghabiskan waktu di pasir putih yang tak berpantai di Km 14. 

Kalau saja kamu tidak seperti ini, aku mungkin rela meninggalkannya. Emang aku ini adikmu, diceramahi seperti ini,” dalam hati saja lelaki yang sesungguhnya memang masih ingin bersenang-senang itu menggerutu. Tanpa kata, dia menghilang. Tak ada komunikasi lagi. Perang besar hanya terjadi sekali dan semuanya hancur. Tak seperti perang konvensional yang biasanya masih diwarnai gerilya. Hubungan itu pun berakhir.

Kini, bioskop Ordeon dan Rosida tak operasi lagi. Karenanya, ketika ingin menyaksikan film nasional diputar di layar lebar, hanya bisa di Bioskop 21. Yang di International Plasa atau Palembang Indah Mall. Sementara, Cineplex Cinde, pun telah dipasangi palang kayu di pintu masuknya.  Film Mengejar Angin pun dinikmati sendirian di PIM. Meskipun, di dalam bioskop, diyakini banyak penonton lainnya. Bahkan penuh. 

Sejak hubungannya putus, dia menjadi dingin terhadap laki-laki. Kecuali kepada ayahnya yang kini sudah sendirian ditinggal ibunya. Kesibukannya bertambah, kalau di rumah dia dengan telaten mengurusi ayahnya. Apalagi, di antara lima bersaudara, hanya dia yang kini menempati rumah keluarga di kawasan elite. Tak jauh dari Gedung DPRD, di kawasan Kampus, Palembang. Tidak jelas mengapa kawasan yang dihuni para pejabat itu disebut Kampus. Padahal, tak ada satu pun perguruan tinggi di sana.


Dia memang punya prinsip tak mau menitipkan ayahnya ke panti jompo. Baginya, pensiunan PNS itu memang telah memberikan modal bagi masa depannya. Karenanya, di usianya yang telah renta itu dia tak mau menyia-nyiakanya. Bahkan dia merasa harus membalas kebaikannya. Sementara untuk ibunya yang almarhumah, dia selalu mengiriminya doa usai salat lima waktunya.


Ibu Rum, demikian dia dipanggil, memang sangat perhatian kepada orang tuanya. Lelaki itu baginya ibarat matahari. Dari pagi hingga senja telah memberikan cahayanya. Dan menjelang malam, dia harus menjaganya.

Cukup sulit baginya memang untuk bersibuk ria kini. Apalagi, selama dua tahun terakhir, dia pun telah berutang kembali ketika dia menyelesaikan studinya di kota lain. Beruntung ada keponakannya yang juga dapat dipercaya menjaga ayahnya tiu. Tetapi, di sela-sela studinya, dalam sebulan setidaknya dua kali dia pun menyempatkan untuk mengontrol orang tuanya itu.

Sehingga, memang sangat minim waktu 24 jam dalam sehari semalam untuk kepentingan masa mudanya. Karenanya wajar dia pun tak sempat mencicipi hubungan khusus dengan lelaki dengan serius.

Kalaupun ada, para lelaki itupun sepertinya satu per satu mengundurkan diri melihat kesibukannya. Selama ini, memang ada juga yang mengenal pribadinya lalu berusaha lebih mengenal.

Ada juga yang tak mundur, tetapi justru Ibu Rum yang tak berkenan. Soalnya, informasi yang diterimanya ternyata lelaki itu punya track record yang tabik dalam hubungannya dengan wanita. Bercerai dengan istri pertama karena melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Gagal menikah kedua kalinya karena ketauan selingkuh seminggu sebelum akad nikah. Calon istri dan WIL-nya pun berkelahi, sehingga membuat keluarga calon istri malu dan membatalkan rencana pernikahan.

Cukup intens pendekatan dilakukan  lelaki itu. Beruntung dengan penolakan yang halus, akhirnya lelaki itu bosan sendiri. Meskipun sempat ngomel-ngomel dan mereka bertengkar di handphone. Sesekali, lelaki itu masih memberikan harapan dan tawaran untuk ketemu. Namun, waktu dan tempat tak pernah mau sepakat.

 Pria dewasa yang sebulan lalu kenal dalam sebuah seminar sedikit mencuri perhatiannya. Apalagi, obrolan sedikit nyambung dan memberikan kesan. Beruntung, hubungan itu belum begitu jauh. Ketika, sebuah SMS, mampir di gadge Ibu Rum. ”Mohon jangan terlalu serius dengan suamiku. Kami, saya dan anak-anak masih iingin keluarga yang harmonis,” tulis sms yang isinya cukup sopan dari seseorang yang mengaku sebagai ibu dari tiga putra-putri pria dewasa itu.

Tak perlu dibalas, SMS itu telah memberikan sinyal bagi Bu Rum untuk segera menghapus semua identitas lelaki itu di phonebook-nya dan juga pertemanan di Facebook.     

Di usia berkepala empat, kini dia termasuk langka. Dengan titel berderet di usianya yang belum mendapat jodoh, tentunya bisa dihitung dengan jari.

Apapun yang terjadi, paling tidak dia sudah mengabdikan dirinya bagi profesi dan dunia keilmuan. Juga, bagi orangtuanya. Bagi dirinya sendiri, memang sepertinya belum ada kesempatan untuk itu.

Meski demikian, soal menjaga penampilan, para mahasiswa sering mendapatinya merawat diri di salon-salon kecantikan. Juga berbelanja di butik-butik ternama. Jarum jam selalu berputar ke kanan. Waktu terus bertambah, usia terus berkurang. Ilmu terus berkembang. Sampai kapan harus hidup sendirian, suatu ketika jarum jam akan terhenti ketika jantung berdegup kencang saat mata bertatapan. Namun entah kapan. 

Palembang, April 2009


































































cerpen - Pelangi di Ampera

cerpen - Pelangi di Ampera



Di Bawah Jembatan

Oleh
Muhamad Nasir


Hari masih pagi, matahari seperti enggan menampakkan kegarangannya. Tetapi lelaki separo baya dengan keruntung* di bahunya itu tampak bersemangat mencari tempat yang sepi. Untuk dia duduk, menggelar  koran bekas yang memberitakan penggusuran, lalu diletakkannya keruntung. Dan mulailah dia memasuki babak baru yang tenang. Mimpi.

Suara dengkurnya tidak pernah disadarinya dan diketahuinya.  Tidak seperti para pejabat yang beruntung diberitahu oleh istrinya bahwa dia mendengkur. Meski awalnya akan marah karena biasanya dia selalu menertawai bawahannya yang tidur mengeluarkan liur** dari sela bibirnya dan mendengkur saat rapat di kantornya. Sang istri akan disembur kalau menyebutnya seperti itu.

Ini berbeda dengan lelaki yang dulu pernah punya istri tapi jarang digaulinya dan jarang bersemuka. Karena dirinya harus meninggalkan wanita itu di malam pertama, usai akad nikah tanpa pesta perkawinan. Dia harus buron karena perbuatannya sendiri merampok, menggarong, dan perbuatannya tercium petugas. Ternyata biaya nikah dan menghidupi istri dan keluarga istrinya atas perbuatannya itu.

Ada memang, dua minggu setelah itu dia kembali ke rumah mertuanya sembunyi-sembunyi di malam hari. Selama dua bulan, dia aktif mengetuk pintu di malam hari. Perasaan was-was menggelayutinya. Sehingga meski kewajiban untuk kebutuhan lain-lainnya selalu rutin, kebutuhan biologis terkadang tak terlaksana. Kalaupun bisa, cuma sekedarnya. Sampai akhirnya  karena kondisi sangat tidak memungkinkan, desa tempat kelahirannya di  daerah Muaraenim yang berjarak sekitar 150 km dari Palembang pun ditinggalkan sepenuhnya. Yang mencarinya bukan cuma polisi tetapi juga para korban yang sebagian ada yang sempat mengenalinya ketika beraksi.

Kini di perantauannya telah belasan tahun dia tak pernah melihat rupa istrinya, Arlena. Entah masih merasa menjadi istrinya, sudah pernah menimang bayi atau sudah menjadi istri orang.

Dalam tidur pun, lelaki yang jarang dipanggil namanya karena dia lebih sering dipanggil dengan sebutannya, tukang keruntung, tak pernah memimpikan istrinya. Meskipun kalau tertidur dia selalu nyenyak dan tak pernah absen bermimpi.  Memang, suara bising kendaraan yang lalu lalang  di atas Jembatan Ampera, entah itu motor kreditan atau mobil mewah, baginya itu tak mengusik. Dia selalu lancar bermimpi.

Mimpinya selalu indah. Meski terkadang  sedikit menyeramkan. Tak seperti hidupnya yang terlunta-lunta, tak sedikit pun indah, bahkan semuanya suram. Tak ada tempat berteduh, kecuali di tempat-tempat umum yang sepi. Bukan tempat-tempat sepi yang umum. Yang biasa digunakan orang-orang berduit. Yang biasanya bosan tidur di rumah, lalu menginap di hotel.

Dalam mimpinya kali ini, Djakfar melihat dengan jelas dia menjadi walikota. Lalu dengan kekuasaannya dia memanfaatkan jembatan bukan sekadar  untuk tempat berteduh dari matahari  pagi atau dari hujan yang datangnya terlalu cepat.

Dia mengubah aturan yang ada. Kalau sebelumnya tidak boleh berjualan di atas jembatan yang dibangun dengan biaya pampasan perang Jepang itu, kini diperbolehkannya. Menurutnya itu sesuai dengan nama jembatan, Amanat Penderitaan Rakyat yang disingkat Ampera. Asal membayar karcis melalui retribusi dan menambah kas daerah yang kemudian digunakan untuk mengusir pedagang kaki lima, menggusur pengemen atau mengembalikan pengemis ke asalnya, di desa sana, maka semuanya tidak ada yang tidak boleh.

Kalaupun ada larangan yang diatur melalui peraturan daerah diputuskan oleh dewan perwakilan rakyat, maka dia berani membuat aturan istimewa. “Itu namanya, aturan khusus,” ujar Djakfar kepada para pendemo yang menolak keputusannya.

“Seperti keputusan saya menerima kalian para pendemo yang melakukan aksi di saat hari libur. Kan mestinya tidak boleh mendemo saya saat saya sedang lembur hari ini. Besok saja, mestinya. Tetapi saya akan salah kalau tidak menerima warga yang telanjur datang. Padahal, kamu kan mestinya tidak harus datang ke saya. Datangi saja, ketua RT yang telah membantu petugas pendataan. Mereka itu yang membuat nama-nama kalian tidak masuk daftar penerima dana kompensasi  BBM,” ujar Djakfar berwibawa yang saat itu mengenakan safari lengkap dengan kopiah ketika menerima warga miskin memprotes  banyak orang kaya yang menerima, sementara mereka yang miskin justru tidak terdata. Sehingga tidak bisa ikut antre di kantor pos untuk mencairkan duit yang jumlahnya lumayan.

Yang lebih menyakitkan lagi, mereka yang antre di kantor itu banyak yang pakaiannya mahal. Sakitnya lagi, begitu mendapat dana itu, mereka langsung menghabiskannya di pasar swalayan. Sebenarnya sama juga seperti mereka yang miskin namun beruntung terdata dan bisa mengantongi uang itu. Umumnya mereka pun langsung menghabiskan uang tersebut untuk belanja-belanja. Mumpung ada duit.

Walikota sendiri saat itu tidak melihat Djakfar ada dalam rombongan warga itu. Padahal, sebagai tukang keruntung, dengan penghasilan yang sangat kecil bahkan untuk membeli kompor pun tak sanggup, dia tergolong individu prasejahtera. Bukan keluarga prasejahtera karena setahu orang  memang belum berkeluarga.

Memang, saat itu Djakfar sengaja tak ikut karena dia bermain dua kaki. Sebagai pemimpi sekaligus pemimpin, sang walikota. Sebagai tukang keruntung,  Djakfar rutin mengunjungi  warung kopi yang tak beratap di pinggir Sungai Musi. Kalau ada duit  dia memesan  kopi cangkir besar. Lalu mengambil  pisang goreng. Kalau lagi buntu, dia memesan air putih panas, lalu mengambil serpihan pisang goreng.

Warga yang tak melihat respon walikota, tapi mengartikan sika pemimpinnya itu hanya berkilah, menjadi emosi. Lemparan batu pun bertubi-tubi. Masih untung, puluhan polisi pamong praja langsung mengelilingi Djakfar. Para asisten dan kepala dinas  juga ikut memasang punggung. Sehingga lemparan itu tak mengenai target. Tetapi badan dan kepala pelindung walikota tetap kena. Benjol dan berdarah. Walikota sendiri selamat. Tetapi dia justru tertimpa rubuh pelindungnya yang berjatuhan menimpanya. Untung Djakfar terbangun.

Dia mengusap matanya. Kepalanya mendongak ke atas. Suara gemuruh seketika terdengar. Rupanya suara teriakan warga perkampungan Arab di Ulu dan Ilir Palembang sangat keras. Dengan terbangan*** mengiringi  lagu padang pasir mereka pun berorasi bergantian.

Menolak pembangunan  jembatan  baru yang direncanakan pemerintah dan bakal menggusur kampung mereka. Rencananya warga dari Ilir Palembang menjemput warga Ulu Palembang di atas Jembatan Ampera. Lalu mereka bersama-sama berorasi di atas jembatan Ampera yang kini namanya kalah besar dibanding merek rokok yang bereklame di salah satu tiang pancangnya yang menghadap ke kota.

Para pendemo yang berjenggot an berkumis serta rata-rata berhidung mancung dan umumnya mengenakan sorban ini pad apoin pertama tuntutannya mempertanyakan kenapa pemerintah  tidak pernah membangun Musi I.  Dan kini setelah membangun Musi II lalu berencana membangun Musi III. Poin kedua juga begitu. Dan poin ketiga tuntutan itu juga sama bunyinya.

“Harusnya konsisten dong. Jangan loncat-loncat dari II ke III tanpa ada I. Kalau naik tangga, bisa kepleset. Mencari uang boleh, tapi ente jangan begitu dong caranya,” teriak koordinator aksi yang tak mau menyebut identitasnya kepada wartawan, padahal namanya tertulis di bed nama yang tergantung di lehernya. Sayang sang wartawan tak bia membaca tulisan Arab, nama itu pun tak diketahuinya.

Jumlah pendemo makin bertambah, jembatan makin sesak. Wajar Djakfar pun berlari melintasi Nusa Indah melihat langsung dari dekat suasana demo.

Kepala Dinas Perhubungan yang ditanya wartawan membuat pernyataan, inilah perlunya membangun jembatan baru. Kalau ada demo seperti ini, sopir tidak menyumpah serapah karena jalanan macet. Kalau Musi II macet juga, masih ada Musi III.

Sayang, keesokan dapati dipastikan pernyataan pejabat itu tidak ditulis wartawan karena beritanya dikalahkan oleh banyaknya korban yang berjatuhan saat demo.

Tak lama kemudian, tiba-tiba baliho bergambarkan merek rokok yang sudah terpasang  selama lebih kurang tiga bulan  runtuh mengeluarkan suara yang bergemuruh. Bisa dibayangkan, para pendemo pun bubar dengan sendirinya tanpa diminta. Tuntutan mereka belum sempat didengar walikota maupun gubernur  dan juga anggota dewan.

Sebagian tak sempat menyelamatkan diri. Ada yang berdarah-darah, tertimpa baliho  dan kerangka besinya. Ada yang patah kaki dan tulangnya. Ada yang tewas seketika. Dan banyak juga yang meninggal karena terinjak-injak.

Ambulans tak bisa mencapai lokasi karena dertean kemacetan cukup panjang. Kalau ke arah pasar mencapai Km 5. Ke arah Kertapati mencapai Stasiun Kertapati dan ke arah  Plaju mencapai Nagaswidak. Sementara ke arah Jakabaring mencapai Stadion Gelora Sriwijaya.

Djakfar lah yang kemudian mengerahkan  rekan-rekannya yang tidak banyak lagi sejak Pasar 16 Ilir digusur dan dipindahkan ke Jakabaring, untuk mengangkut para korban. Awalnya teman-temannya enggan membantu kecuali dengan perjanjian satu kali mengangkut ongkosnya berapa. Ditentukan terlebih dahulu. Lalu pembayarannya dipastikan di muka atau di belakang atau di bawah tangan. Djakfar yang berpengalaman menjadi walikota dalam mimpinya terpaksa berorasi sebentar dan menjanjikan  bahwa para tukang keruntung nanti akan dibayar dengan kupon kompensasi BBM.

Para tukang keruntung berlari membawa keruntungnya. Mereka spontan tergerak membantu bukan karena janji akan dibayar tetapi lebih kepada sentuhan nurani melihat para korban  yang berkaparan. Belum tuntas Djakfar berbicara sebagian sudah mengangkut korban.

Bantuan terpaksa manual. Para korban diangkut berlari dengan keruntung. Tempat terdekat  Rumah  Sakit Benteng. Setelah penuh, ke Charitas. Baru setelah itu ke Rumah Sakit Umum yang sebagian dokternya sedang mogok kerja menolak keberadaan direktur utamanya. Untung, ruang emergency masih buka. Terakhir ke RS Siti Khadijah. Tidak muat, kemudian ke rumah bersalin-rumah bersalin yang ada.

Proses pengangkutan ini sendiri tidak lancar-lancar seperti yang dibayangkan. Karena mereka tak pernah mendapat pelatihan. Apalagi, banyak tukang keruntung yang tidak hapal jalan menuju rumah sakit dimaksud. Belum lagi, keributan sempat terjadi  karena   penentuan lokasi  ternyata tidak sesuai dengan prosedur mestinya dikirim ke rumah sakit umum dulu, kalau sudah tak mampu dan tak tertampung baru ke rumah sakit lainnya. Kali ini memang semuanya menggunakan logika terbalik dan serabutan.

Berkat bantuan tulang keruntung dan kepiawaian petugas mengatur lalu lintas  akhirnya lalu lintas menjadi lancar. Barulah suara sirine ambulans terdengar di dekat Jembatan Ampera. Djakfar pun terbangun mendengar sirine ambulans yang mengangkut jenazah seorang pejabat yang meninggal karena penyakit jantung. Iring-iringan kendaraan lumayan panjang.

Tidak ada kejadian penting di atas jembatan Ampera. Kecuali beberapa orang turun dari mobil dan tampak berfoto  sejenak. Lalu, seketika hujan turun deras. Reklame itu masih terpampang dan di bawahnya puluhan pengendara motor berteduh dari basahnya hujan. Memakan sebagian jalan. Begitupun pejabat Dinas Pekerjaan Umum di kantornya sedang memberikan  keterangan kepada wartawan  bahwa Jembatan Musi III siap dibangun. Dana ganti rugi  telah disiapkan. Kalaupun ada aset budaya dan aset sejarah yang tergusur akan dipindahkan ke lokasi lain.

Sementara Djakfar, rupanya setelah sempat terbangun, kembali meringkuk di samping keruntungnya. Karena baginya memang percuma menunggu orang memanfaatkan jasanya. Bawah jembatan itu sedang dibangun proyek wisata. Pedagangnya saja tidak ada lagi, apalagi pembeli.

Djakfar terlihat tersenyum. Dia sedang berada di ruang pendaftaran kursus bahasa Inggris minta brosur dan formulir pendaftaran. “Saya harus kursus bahasa Inggris biar nanti bisa menjadi pemandu wisata. Kalau boleh sih,  untuk biaya kursusnya saya jual keruntung dulu,” ujarnya dalam hati.

Jangankan mendapat uang, Djakfar justru diangkut ke kantor polisi. Karena orang yang ditawarinya dan akhirnya membeli keruntung itu  adalah anak pemilik keruntung. Dia pun digiring ke polisi dengan ancaman menjual barang yang bukan miliknya. Termasuk anak bos pun digiring dengan sangkaan menjadi penadah.

Kepada polisi, Djakfar mengatakan  bahwa dia  menjual keruntung tidaklah salah. Yang salah itu orang yang membuat dirinya tidak bisa lagi mencari uang dengan keruntung. “Pasar itu digusur. Gimana saya mendapat uang. Tidak ada lagi pembeli dan penjual di sana.”

Akhirnya Djakfar dan anak bos pemilik keruntung dibebaskan. Keruntung pun dikembalikan ke pemiliknya. Tetapi, sang pemilik ternyata tidak mau menerimanya kembali karena dia sudah alih usaha, menjadi pemilik pangkalan minyak tanah dan tak lama lagi akan jadi agen gas elpiji. Soalnya untuk mengimbangi rencana pemerintah  melaksanakan konversi minyak tanah ke gas. “Usaha ini akan lebih menguntungkan,” ujarnya kepada polisi. Karena itu pula dia memohon   Djakfar dan anak kandungnya dibebaskan. Dia mencabut kembali pengaduannya.

Terpaksalah, Djakfar  membawa kembali  keruntung yang sudah menjadi miliknya ke bawah jembatan “Siapa tahu saya tidak mimpi lagi. Tempat itu sudah jadi tempat hiburan para bule dan jembatan Musi I telah dibangun, lalu Musi III pun terlihat dari Musi I,” pikir Djakfar sederhana.

Dia lupa Jembatan Ampera tak bisa lagi jadi tempat mangkal. Tidak akan ada lagi tempat baginya untuk tidur pagi hari. Jangankan malam atau sore,  tidur pagi saja tidak bisa lagi.

Palembang, November 2005

*Keranjang terbuat dari rotan yang dibantungkan di bahu dan digunakan untuk mengangkut berbagai jenis barang.

**Dikenal juga dengan istilah ludah basi, air ludah yang keluar dari sela-sela bibir saat tertidur dan biasnya akan mengering dan membekas ketika bangun.

***alat musik berbentuk bulat dilapisi kulit keras seperti gendang. Dipinggirnya biasanya ditambah kuningan atau kaleng untuk menambah bunyi kerincingan. Biasanya digunakan untuk mengiringi musik daerah yang biasanya ditampilkan mengarak pengantin.

Dimuat di Sinar Harapan edisi 22 Desember 2007

cerpen - Menghitung Caleg Gila

cerpen - Menghitung Caleg Gila