Senin, 26 April 2010

cerpen - Cinta Tak Berbumbu

cerpen - Cinta Tak Berbumbu





Cinta Tak Berbumbu

Cerpen Muhamad Nasir

Ruang kuliah yang dipadati puluhan mahasiswa itu terlihat tenang. Hanya sekitar lima orang dari 35 mahasiswa di ruang itu yang bercengkerama dalam bahasa lisan yang sesekali ditimpali komunikasi nonverbal. Selebihnya, sibuk memindahkan catatan rekannya yang memang memiliki tulisan rapi di papan tulis.

Sebuah buku ilmiah sedang dipindahkan ke papan tulis. Lalu mahasiswa dengan semangat memindahkannya ke buku mereka masing-masing. Sementara sang dosen terlihat sibuk mengutak-atik Iphone-nya. Bersilancar di dunia maya. Tampaknya mencari kutipan dari Google search engine.

Sesekali dia membalas sms melalui HP lainnya. Selintas, penampilan sang dosen memang cukup trendy.
Dengan tas kulit keluaran terbaru, dia memadankannya dengan stelan yang dibelinya dari butik. Memang dalam sebulan, setidaknya dia dua kali mengunjungi butik membelanjakan uang honornya dari beberapa universitas ternama di Palembang.

Ditambah pula, terkadang uang dari hasil menjual buku terbitan teman-temannya waktu kuliah dulu. 

Tak pernah ada protes dari para mahasiswanya. Mereka justru sepertinya menyenangi. Karena terkadang, kalaupun ada dosen yang mengajar dengan banyak lisan, sering obrolannya pun memang membosankan. Karena hanya menceritakannya pengalaman pribadinya. Cerita yang itu-itu saja.

Sebagai dosen senior, di kalangan koleganya ibu yang tak berjilbab itu dikenal masih cukup muda. Karenanya, dia dipanggil ibu dosen muda. Meskipun, di bidang pengalamanan berkeluarga, dia ternyata masih sangat minim.

Karena di banding teman-temanya yang umumnya sudah punya pacar, dia memang tidak ada seujung jarinya pun. Apalagi dibanding dengan mereka yang sudah bersuami, atau sudah punya momongan. Dia memang bahkan belum punya pacar. Dulu memang pernah punya pacar. Tetapi karena dia sibuk melanjutkan pendidikan, sang pacar pun berpaling ke wanita lain.


Mereka sempat beradu argumen. Dengan sistematis dan logis dia menceramahi sang pacarnya yang selisih usianya cukup jauh, sekitar lima tahun dibawahnya. Ketika itu mereka sembari menikmati pempek lenggang* di depan Mesjid Agung.

Di tempat ramai, lelaki itu hanya manggut-manggut. Hanya sesekali dia menyeka bibirnya yang dirasa menebal didera cuka yang dihirupnya menemani lenggang. Penawarnya, diapun menyeruput es belimbing yang dipesannya. Tak ada lagi, segelas berdua.
Apalagi, mereka berdua memesan es berbeda. Yang satu es jeruk, satunya lagi es belimbing. Telinganya pun seperti ikut menebal.

Merasa bersalah, lelaki itu tak berani membantah. Jangankan mengeluarkan kata-kata, mengangkat kepalanya pun tak mampu. Selain itu, memang wanita idaman lainnya, ternyata jauh lebih segar, lincah dan sama-sama masih berjiwa muda.

Karenanya, kala gembira dan bersenang seperti di bioskop Ordeon di 7 Ulu atau Rosida di Jalan Temon, lelaki ini selalu bersama pacarnya yang jauh lebih muda tadi. Begitupun ketika beramai-ramai bersama teman-temannya menghabiskan waktu di pasir putih yang tak berpantai di Km 14. 

Kalau saja kamu tidak seperti ini, aku mungkin rela meninggalkannya. Emang aku ini adikmu, diceramahi seperti ini,” dalam hati saja lelaki yang sesungguhnya memang masih ingin bersenang-senang itu menggerutu. Tanpa kata, dia menghilang. Tak ada komunikasi lagi. Perang besar hanya terjadi sekali dan semuanya hancur. Tak seperti perang konvensional yang biasanya masih diwarnai gerilya. Hubungan itu pun berakhir.

Kini, bioskop Ordeon dan Rosida tak operasi lagi. Karenanya, ketika ingin menyaksikan film nasional diputar di layar lebar, hanya bisa di Bioskop 21. Yang di International Plasa atau Palembang Indah Mall. Sementara, Cineplex Cinde, pun telah dipasangi palang kayu di pintu masuknya.  Film Mengejar Angin pun dinikmati sendirian di PIM. Meskipun, di dalam bioskop, diyakini banyak penonton lainnya. Bahkan penuh. 

Sejak hubungannya putus, dia menjadi dingin terhadap laki-laki. Kecuali kepada ayahnya yang kini sudah sendirian ditinggal ibunya. Kesibukannya bertambah, kalau di rumah dia dengan telaten mengurusi ayahnya. Apalagi, di antara lima bersaudara, hanya dia yang kini menempati rumah keluarga di kawasan elite. Tak jauh dari Gedung DPRD, di kawasan Kampus, Palembang. Tidak jelas mengapa kawasan yang dihuni para pejabat itu disebut Kampus. Padahal, tak ada satu pun perguruan tinggi di sana.


Dia memang punya prinsip tak mau menitipkan ayahnya ke panti jompo. Baginya, pensiunan PNS itu memang telah memberikan modal bagi masa depannya. Karenanya, di usianya yang telah renta itu dia tak mau menyia-nyiakanya. Bahkan dia merasa harus membalas kebaikannya. Sementara untuk ibunya yang almarhumah, dia selalu mengiriminya doa usai salat lima waktunya.


Ibu Rum, demikian dia dipanggil, memang sangat perhatian kepada orang tuanya. Lelaki itu baginya ibarat matahari. Dari pagi hingga senja telah memberikan cahayanya. Dan menjelang malam, dia harus menjaganya.

Cukup sulit baginya memang untuk bersibuk ria kini. Apalagi, selama dua tahun terakhir, dia pun telah berutang kembali ketika dia menyelesaikan studinya di kota lain. Beruntung ada keponakannya yang juga dapat dipercaya menjaga ayahnya tiu. Tetapi, di sela-sela studinya, dalam sebulan setidaknya dua kali dia pun menyempatkan untuk mengontrol orang tuanya itu.

Sehingga, memang sangat minim waktu 24 jam dalam sehari semalam untuk kepentingan masa mudanya. Karenanya wajar dia pun tak sempat mencicipi hubungan khusus dengan lelaki dengan serius.

Kalaupun ada, para lelaki itupun sepertinya satu per satu mengundurkan diri melihat kesibukannya. Selama ini, memang ada juga yang mengenal pribadinya lalu berusaha lebih mengenal.

Ada juga yang tak mundur, tetapi justru Ibu Rum yang tak berkenan. Soalnya, informasi yang diterimanya ternyata lelaki itu punya track record yang tabik dalam hubungannya dengan wanita. Bercerai dengan istri pertama karena melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Gagal menikah kedua kalinya karena ketauan selingkuh seminggu sebelum akad nikah. Calon istri dan WIL-nya pun berkelahi, sehingga membuat keluarga calon istri malu dan membatalkan rencana pernikahan.

Cukup intens pendekatan dilakukan  lelaki itu. Beruntung dengan penolakan yang halus, akhirnya lelaki itu bosan sendiri. Meskipun sempat ngomel-ngomel dan mereka bertengkar di handphone. Sesekali, lelaki itu masih memberikan harapan dan tawaran untuk ketemu. Namun, waktu dan tempat tak pernah mau sepakat.

 Pria dewasa yang sebulan lalu kenal dalam sebuah seminar sedikit mencuri perhatiannya. Apalagi, obrolan sedikit nyambung dan memberikan kesan. Beruntung, hubungan itu belum begitu jauh. Ketika, sebuah SMS, mampir di gadge Ibu Rum. ”Mohon jangan terlalu serius dengan suamiku. Kami, saya dan anak-anak masih iingin keluarga yang harmonis,” tulis sms yang isinya cukup sopan dari seseorang yang mengaku sebagai ibu dari tiga putra-putri pria dewasa itu.

Tak perlu dibalas, SMS itu telah memberikan sinyal bagi Bu Rum untuk segera menghapus semua identitas lelaki itu di phonebook-nya dan juga pertemanan di Facebook.     

Di usia berkepala empat, kini dia termasuk langka. Dengan titel berderet di usianya yang belum mendapat jodoh, tentunya bisa dihitung dengan jari.

Apapun yang terjadi, paling tidak dia sudah mengabdikan dirinya bagi profesi dan dunia keilmuan. Juga, bagi orangtuanya. Bagi dirinya sendiri, memang sepertinya belum ada kesempatan untuk itu.

Meski demikian, soal menjaga penampilan, para mahasiswa sering mendapatinya merawat diri di salon-salon kecantikan. Juga berbelanja di butik-butik ternama. Jarum jam selalu berputar ke kanan. Waktu terus bertambah, usia terus berkurang. Ilmu terus berkembang. Sampai kapan harus hidup sendirian, suatu ketika jarum jam akan terhenti ketika jantung berdegup kencang saat mata bertatapan. Namun entah kapan. 

Palembang, April 2009


































































Tidak ada komentar:

Posting Komentar