Pengantar Editor, Arif Ardiansyah

Cerpen koran, Wartawan dan Ideologi

Ketika dimintai menjadi editorial buku ini, sulit untuk memulainya dari mana, maklum bukunya cukup berat menyangkut karya sastra walaupun hanya kumpulan cerita pendek. Sebab karya sastra menyangkut aspek kebudayaan dan karya sastra bukanlah aspek kebudayaan yang sederhana. Ia merupakan suatu organisasi atau susunan yang sangat majemuk dari suatu wujud yang berlapis-lapis serta beraneka ragam makna dan sifat sangkut-pautnya. Oleh karena itu, secara definitif pengertian sastra sulit dirumuskan, namun secara intuitif dapat dipahami gejalanya.
Salah satu bentuk karya sastra adalah cerita pendek. Cerita pendek atau cerpen merupakan suatu karya sastra yang mulai berkembang dalam dunia sastra Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya media cetak yang menempatkan kolomnya untuk cerpen, banyak buku-buku cerpen terbit baik yang ditulis oleh beberapa penulis maupun seorang penulis.
Cerita pendek dicirikan dengan beberapa hal, secara fisik pendek, adanya sifat rekaan (fiction), dan adanya sifat naratif atau penceritaan (Sunarto dalam Sumarlan dkk:2003). Bentuk fisik pendek bukan dengan kualifikasi halaman tertentu, tetapi mengarah pada pemadatan isi. Sifat rekaan mengandaikan adanya suatu peristiwa, apakah benar-benar terjadi atau hanya rekaan yang dijadikan dasar penulisan cerita, sedangkan sifat naratif mengharuskan cerpen tampil secara utuh sebagai sebuah cerita namun singkat yang membedakan dari sebuah berita jurnalistik yang informatif, feature yang argumentatif atau laporan-laporan perjalanan yang bersifat ekspresif.
Bentuk sastra koran mengacu pada semua bentuk karya sastra yang diterbitkan di koran. Istilah sastra koran mengacu pada prosa (novel, cerpen), puisi, atau drama yang dimuat dalam koran.
Perkembangan kesusastraan Indonesia erat kaitannya dengan keberadaan surat kabar. Sebagian besar karya para sastrawan kita terlebih dahulu dipublikasikan melalui surat kabar, baru kemudian dibukukan baik berupa kumpulan puisi atau kumpulan cerpen biasanya berasal dari puisi-puisi atau cerpen-cerpen yang dimuat di berbagai media massa. Novel biasanya berasal dari cerita bersambung. (Jassin; 1994).
Selain karya yang bersifat rekaan pengarang, koran juga menyediakan ruangan untuk karya berupa esai dan kritik sastra .Berita atau tulisan tentang sastra dan aktifitasnya.
Jassin (1994) mengemukakan ruangan sastra dan budaya yang kadang-kadang disediakan khusus di berbagai surat kabar ini, memunculkan karya sastra yang cukup bermutu. Sering karya-karya itu kurang diperhatikan oleh para pengamat sastra. Mereka cenderung meneliti karya-karya yang sudah dibukukan, padahal tidak semua karya yang baik mendapat kesempatan untuk dibukukan.
Surat kabar umum yang mapan dan memiliki tiras yang cukup baik biasanya mempunyai rubrik seni dan budaya . Rubrik ini biasanya terbit setiap hari Minggu, atau akhir pekan dengan jumlah satu sampai dua halaman koran. Beragam artikel ditulis pada rubrik tersebut, seperti cerita pendek, cerita bersambung, puisi, hiburan pop, esai, kritik sastra, dan peristiwa-peristiwa budaya lainnya.
Penerbitan cerpen di koran berpengaruh pada frekuensi penerbitan, wilayah penyebaran cerpen dan frekuensi perbincangan mengenai cerpen dan berpengaruh pada struktur baik aspek bahasa maupun sastranya. Demikian pula halnya dengan pemilihan tema cerpen, kemungkinan besar dipengaruhi oleh prinsip aktualitas pemberitaan koran. Kemungkinan-kemungkinan ini menunjukkan bahwa sastra koran memiliki kemungkinan yang besar memiliki karakteristik yang khas.
Cerpen koran memberi peluang bagi pemahaman fenomena aktual sastra Indonesia secara lebih luas, karena pertimbangan nilai aktualitas berita dalam pemberitaan koran, kemungkinan besar mengakibatkan cerpen yang dipilih untuk diterbitkan juga mengandung unsur-unsur yang aktual. Dengan kata lain salah satu nilai khas dari cerpen koran adalah keaktualannya. Istilah sastra koran mengacu pada karya sastra dalam lingkup tertentu, yaitu dunia koran dan cerpen koran. Sastra koran merupakan bagian kehidupan sastra yang penting dan menarik untuk dijadikan objek studi, karena memuat hal-hal yang aktual, baik gaya pengungkapan, topik pembahasannya, maupun pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya.
Mahayana (2005) menyatakan karya sastra yang dimuat di berbagai surat kabar harus dilihat dalam konteks teori sastra makro. Teori ini beranggapan karya sastra sebagai hasil produksi tidak lepas sistem lain yang melingkarinya. Dalam hal itu, karya sastra diterima pembaca, tidak begitu saja datang dari langit yang dibawa para malaikat. Ia hadir melalui sebuah proses yang rumit yang sering lebih penting daripada karyanya sendiri.
Dalam teori sastra makro, dunia sastra diperlakukan sebagai sebuah sistem yang mencakup karya sastra sebagai hasil produksi, pengarang sebagai individu profesional yang menghasilkan karya sastra, dan penerbit sebagai lembaga yang memungkinkan karya sastra dapat direproduksi dan didistribusi. Selain itu adapula pembaca yang terdiri dari pembaca pasif (penikmat) dan pembaca aktif (pemberi makna) karya bersangkutan.
Sebagai sebuah sistem sastra makro, kedudukan pengarang sama pentingnya dengan pembaca atau penerbit. Tanpa pengarang, mustahil karya sastra ada. Tetapi bermaknakah karya sastra itu jika ia tidak dibaca sama sekali. Jadi, karya sastra, baru mempunyai makna jika ada yang membaca di luar diri pengarangnya sendiri. Dengan perkataan lain, fungsi sosial karya sastra, baru hadir jika ada pembacanya.
Penerbit dalam hal ini surat kabar sebagai lembaga yang mereproduksi dan mendistribusikan karya sastra (cerpen), menampakan fungsi sosialnya jika karya yang direproduksi dan didistribusikannya menjangkau jumlah pembaca yang banyak dan wilayah yang luas. Dengan itu, ia menjadi penyambung lidah pengarang, mengangkat harkat dan popularitasnya, serta secara ekonomi, memberikan penghidupan bagi pengarang (Mahayana, 2005).
Dari sudut pandang sosiolinguistik, media cetak khususnya surat kabar berhubungan erat dengan pemakaian variasi bahasa berdasarkan aspek pemakaiannya. Dalam aspek ini ragam jurnalistik mempunyai ciri tertentu, yaitu bersifat sederhana, komunikatif dan ringkas; bersifat ringkas karena keterbatasan ruang dan keterbatasan waktu (Chaer dan Agustina,2004).
Lantas, bagaimana jika penulis cerita pendek adalah juga seorang jurnalis atau wartawan yang notabene adalah orang yang sehari-hari bergelut dengan informasi yang membuncah. Apakah yang ditulis itu fakta atau fiksi. Dari sekian banyak jurnalis yang saya kenal hanya segelintir yang intens menulis cerita pendek, kalau mau menyebut diantaranya ada Taufik Wijaya (Detik.Com), Apan (Okezone.Com), Anto Narasoma (Sumatera Ekpress), Imron (eks jurnalis Radio). Bagi saya, jurnalis yang bisa menulis cerita pendek dan berani mempublikasikan karyanya ke media massa adalah jurnalis cum
Muhamad Nasir boleh jadi bukan bagian dari yang jurnalis yang ajek menulis cerita pendek, buktinya kumpulan cerita pendek ini dikumpulkan dengan rentang waktu yang cukup panjang dari tahun 1991 sampai sekarang. Lalu, apa penting kumpulan cerpen ini dibukukan, bagi saya teks adalah sesuatu yang mutlak, teks dalam bentuk buku bisa awet sampai kapan pun . Dari sisi akademik buku bisa menjadi satu referensi dan menjadi bahan kajian juga.
Dari rentang waktu yang panjang itu, begitu banyak tema yang ditulis Nasir dari persoalan remaja , perjuangan, pendidikan, sosial dan politik . Uniknya hanya satu cerpen yang membahas dan bercerita tentang profesi yang digeluti penulis yaitu ‘Mimpi Pun Usai’, bercerita tentang seorang tokoh jurnalis idealis miskin dan kere disebuah koran lokal. Dan berakhir tragis, sayang kematian itu bukan karena konflik pemberitaan tetapi ditabrak lari usai diputus kontrak dari koran dimana sang jurnalis Djakfar bekerja.
Selain itu juga tergambar ideologi dari penulis dan keberpihakannya kepada profesinya.
”Saya tidak bisa menikmati hidup dengan memanfaatkan ketakutan orang-orang. Atau mengambil manfaat dari orang yang ingin dipuji-puji dengan tulisan yang manis-manis dan mampu membubung ke langit,” kata Djakfar. (Mimpi Pun Usai)


Kutipan itu menyiratkan sebuah pilihan yang mesti dipilih oleh jurnalis di dalam menjalankan profesinya sebagai jurnalis. Dalam cerita pendek Mimpi Pun Usai terlihat jelas ideologi yang disampaikan pengarang melalui tokoh-tokohnya dan keberpihakan pengarang dalam profesinya.

Perubahan istrinya yang drastis membuat Djakfar tidak bisa menerimanya dan menjadi sangat terpukul, tetapi tidak membuat wartawan itu kehilangan akal sehat. Di luar rumah, dalam menjalankan pekerjaannya, tetap saja sebagai wartawan yang baik dan jujur. Kejujurannya itu sudah diketahui teman-teman seprofesinya, dan mereka menyebutnya sebagai wartawan yang idealis dan tak kenal kompromi. Alias bodoh. Meskipun ia sering mendengar julukan itu ditujukan kepadanya, tidak membuatnya tersinggung karena ia berpikiran sebaliknya, rekan-rekannyalah yang keliru.
Kekeliruan mereka adalah kekeliruan seorang manusia yang tidak bisa mengendalikan pikiran-pikiran dan mimpi-mimpinya, sehingga semua yang mereka lakukan dikerjakan tanpa memedulikan hati nurani.


Pada kutipan di atas, terlihat suasana batin dari tokoh Djakfar dalam memaknai profesi dan kehidupannya.
Pandangan-pandangan dan nilai-nilai yang terkandung dalam kumpulan cerpen itu bisa mengambarkan ideologi dari pengarang melalui karakter tokoh, latar, dan alur cerita. Sebab ideologi di sini akan lebih diperlakukan sebagai sistem kepercayaan, nilai-nilai, kategori-kategori yang menjadi acuan dalam memahami, menanggapi, dan menerangkan setiap masalah hidup. Ideologi merupakan pandangan dunia (world view) .
Akhirnya, kumpulan cerita pendek ini hadir untuk menambah sederet buku sastra khususnya genre cerpen di blantika buku sastra yang tidak begitu banyak diterbitkan di kota ini. Selamat membaca.

Arif Ardiansyah
editor