Gila Berhitung
Cerpen Muhamad
Nasir
Soal berhitung,
Rudi paling jago. Sebelum sekolah pun, dia sangat fasih menghitung jumlah ekarnya*. Dia juga tahu betul bagaimana
supaya ekarnya tak berkurang. Sehingga di kalangan teman-temannya dia dipanggil
si kancil. Tubuhnya memang kecil dibanding umurnya.
Tapi ternyata
seperti kata tetangganya, orang yang kecil itu memang biasanya seperti Rudi.
”Contohnya saja, orang Jepang. Soalnya
antara otak dan pantatnya dekat. Atau Pak Habibie, orangnya kecil ternyata bisa
menjadi orang besar,” kata tetangga Rudi saat berbincang di pos ronda ketika si kancil itu lewat membawa sekantong ekar
hasil permainannya.
Selain bisa
menambah, Rudi memang pandai mengurang, mengali sekaligus membagi. Tidak
seperti orang kebanyakan, yang
biasanya sulit ketika diminta untuk
membagi.
Itulah pula yang membuat Rudi selalu diajak bermain ekar
meskipun teman-temannya selalu kalah dan kehabisan modal.
Rudi tak
segan-segan memberi pinjaman bahkan terkadang memberi modal kepada temannya yang
kalah. Atau terkadang teman yang ingin main tapi tak punya ekar pun diberinya
modal.
”Nanti juga kan
baliknya ke saya juga. Saya ada hitung-hitungan. Tak bisa mengembalikan dengan ekar
juga, pake uang juga bisa. Atau dengan bayaran lain, bersedia disuruh-suruh
juga tak apa,” pikir Rudi bergumam ketika sedang berada di kamar kecil rumahnya
yang ukurannya cukup luas.
Ayahnya yang
berada memang tak kekurangan untuk memberikan apapun bagi anaknya. Termasuk
makanan bergizi dan enak.
Mungkin karena
faktor tertentu saja, Rudi pun tumbuh lamban secara fisik.Meskipun ternyata
pertumbuhan akalnya justru berbanding terbalik.
Ketika sudah
sekolah, warga di kampung itu bersyukur
karena ternyata Rudi cukup pintar. Masih kelas I, dia sudah bisa membaca.
Diminta gurunya menghitung, lebih dari
seribu dia sudah bisa.
Apalagi, kalau
menghitung uang kembalian di warung, dia sering diminta bantuan kala kalkulator
Wak Lam, warung laris di kampungnya ngadat. Juga, kalau ada Wak Lintai, penjual
pempek keliling yang agak sulit menghitung kembalian kalau uang yang disodorkan
di atas 20 ribuan.
Pun, waktu Ketua
RT menghitung uang hasil pumpunan warga untuk merayakan peringatan kemerdekaan.
Kecuali menghitung uang penjualan beras untuk rakyat miskin, Pak RT paling
takut kalau ada Rudi. Soalnya, takut ketahuan kalau ada tilep-tilep dikitnya
ketahuan.
Hingga beberapa
tahun kemudian Rudi yang cukup aktif berorganisasi akhirnya nyantol di sebuah
partai baru. Meski jumlah partai lebih dari 40, tak susah baginya
menghitung-hitung kemungkinan perolehan angka.
Ketua partai di
daerahnya pun meletakkan nama Rudi bukan di nomor sepatu. Dia di tarok di nomor jadi. Biar
mudah menghitung perolehan suara nanti.
Hanya saja,
kasak-kasak kusuk yang beredar di internal partai baru itu, ada faktor lain
yang membuat nama Rudi di atas. “Biasalah,” ujar Darmawan, seorang tokoh yang
tak sedikit jasanya dalam perkembangan partai tersebut yang kemudian justru
berada di bawah nama Rudi. Dia tak berani terlalu sinis, namun dalam berbagai
kesempatan dia selalu menaburkan kata-kata beracunnya. Sekedar memuaskan hati.
Soal kampanye,
Rudi memang jago. Apalagi
timnya juga tak sedikit. Laporan dari tim suksesnya, 80 persen suara bisa
diperoleh, dan diyakini dia bisa menempati salah satu ruangan di gedung
perwakilan nanti.
Semakin bagus
laporan, semuanya semakin lancar. Apalagi, itu semakin mempermudah Rudi
memperhitungkan prediksi perolehan suara.
”Kita lihat saja
nanti, politik tak bisa disamakan dengan matematika. Jangan khawatir, belum
tentu dia jadi,” ujar calon separtai Rudi yang merupakan rekan sekaligus
rival. Apalagi, ternyata dia sudah
terlalu sering dikadali Rudi sejak kecil dalam berbagai permainan. Meski,
kemudian dengan licinnya, Boim yang juga teman sekelas Rudi ini, tak selalu
kalah di akhir permainan.
”Kita boleh kalah
berhitung, tapi jangan kalah bertanding,” begitu motto Boim, yang selalu
disampaikan usai permainan ekar. Sayangnya, Rudi tak pernah mendengar gumaman
ini.
Diprediksi,
politikus muda ini bisa menghimpun suara. Apalagi, hitungan dana yang mengalir
uangnya tak berseri lagi.
Tim sukses pun
memberikan jaminan dengan mengangkat jempol.
Sehingga makin
ramai saja rumah besar itu dihampiri orang-orang. Dari yang sekedar mampir,
ikut berjuang, sampai mereka yang memancing di kolam berikan. Ambil ikannya,
tanpa perlu punya kolam.
Bagi Rudi,
bayangan gedung dewan sudah di pelupuk mata. Dia sudah menghitung banyaknya tiang gedung itu.
Lalu jumlah gentengnya, dan berapa banyak rakyat yang nantinya bisa
diperjuangkan.
Jumlah bendera,
leaflet, iklan, spanduk, reklame yang memancangkan foto berwarnanya tak
terhitung lagi. Tapi, dia sungguh hapal. Berapa yang ada di sekitar jembatan
Ampera. Ada berapa yang lepas di sekitar Mesjid Agung. Atau beberapa yang
diturunkan mahasiswa di kampus-kampus perguruan tinggi swasta maupun negeri
yang tak terima kampusnya dijadikan ajang kampanye.
Begitu juga,
hasil cetakan yang dipesan. Berapa yang cacat, jumlah yang harus dikembalikan
dan dicetak ulang, atau berapa banyak lagi percetakan yang masih belum
mengembalikan kelebihan pembayaran.
Prinsipnya memang
cucok dengan partainya. Calon dari partainya memang tak banyak-banyak,
cuma 4 orang. Sehingga, terbayanglah, dia yakin terunggul dalam perolehan suara
di partainya.
”Tapi dia lupa,
saingannya bukan calon separtai. Tetapi calon dari partai lain. Kalau perolehan
suara partainya saja kurang, tak bakal ada yang jadi calonnya. Karena yang
dihitung terlebih dahulu adalah perolehan partai,” kata anggota KPU yang
menguasai teknis penghitungan dan meragukan Rudi bakal gagal merealisasikan
keinginannnya.
Sebulan setelah
pesta rakyat. Kala suara perolehan sudah dihitung, Rudi semakin jago
menghitung. Tanpa kalkulator di tangan, dia mengitari rumahnya. Seolah memegang
mesin hitung, dia menambah, mengurang, mengali, dan terkadang membagi. Lalu
menjumlah. Hasilnya, dia tertawa.
Itu dilakukannya
setiap pagi dan siang. Nbahkan terkadang sampai malam. Yang dihitungnya, mulai
dari kasbonkasbon laporan tim sukses hingga jumlah keramik di lantai rumahnya.
Juga, jumlah genteng atap rumahnya. Termasuk, jumlah jas dan saparinya yang
sudah disiapkan untuk dipakai saat menghadiri rapat di fraksi ataupun di komisi
seandaainya dia bisa jadi.
Tuntas semua
benda di rumah dan sekitar rumahnya dihitung, dia pun meluas ke tetangganya.
Pun, rumah Pak RT. Bahkan, mesjid pun tak lupa dihampirinya. Jumlah celengan,
berapa isinya, berapa total sumbangan yang diterima, dan untuk apa dana itu
digunakan. Pembukuan di papan pengumuman mesjid juga dilalapnya.
Pak RT bahkan sedikit
grogi ketika Rudi menghitung jumlah raskin yang
diterima dan warga yang berhak menerimanya. Namun, bisa sedikit tersenyum
ketika mengetahui pandangan mata Rudi, kosong. Hampa dan tak memberikan respon
ketika bertatapan dengan orang-orang yang dikenalinya.
Ketika televisi
menyiarkan hasil perolehan suara para calon legislatif, Rudi justru menghitung
uban seorang nenek yang mampir ke rumahnya dan menyorongkan karung minta diisi
beras. Dengan cepat, karung itu pun diisi rudi sebanyak 2,5 liter.
Tinggal kini, ayahnya
yang sibuk mengupayakan agar anaknya berhenti menghitung. Disarankan, agar Rudi
dimintai tolong untuk menghitung perawat dan dokter di rumah sakit. Kalau saja,
hitungannya tak meleset.
Masih pagi tadi,
seorang bocah, Romlah, dikejar orang tuanya. Karena berani menyebutnya gila.
Saat melihat Rudi sibuk menghitung dengan suara yang keras dan seperti mencari
sesuatu, dia bertanya kepada ayahnya. ”Lagi ngapain sih Om Rudi itu,” tanya
Romlah yang selama ini kenal baik dengan Rudi karena sering dibagi duit dan
kaos partai.
Ayahnya menjawab,
”Menghitung dan mencari suaranya yang hilang.”
Mendengar itu,
Romlan yang tak mengerti spontan menyebut ayahnya gila. ”Ye, ayah gila ya, kan
Om Rudi itu suaranya gak ilang. Tuh, dia masih bisa berhitung. Suaranya masih
jelas terdengar. Gila nih ayah,” katanya polos.
Mendengar itu,
ayahnya memerah dan sigap melepas sendal. Melihat itu, Romlan yakin di mata ayahnya dia
melakukan kesalahan. Biasa, kalau dia ketahuan mengambil uang receh, ayahnya
akan melepas sendal jepitnya dan memukulkan ke pantatnya. Supaya aman, jurusnya
Cuma satu. Berlari.
Romlan bingung,
kenapa ayahnya marahnya sama seperti ketika mengetahui ia mencuri simpanannya. Padahal, dia merasa tak
salah.
Palembang,
Oktober 2009
Muhamad Nasir
Jalan Lomba Jaya
Gang Jaya, no 1606, rt 25 rw 07, Sekip Palembang. Email: nasirsetr@hotmail.com
Bio data:
Kelahiran
Beringin, 16 Mei 1969. Menulis cerpen dan esai di koran lokal dan nasional
sejak 1996. Saat ini, jurnalis dan juga dosen di perguruan tinggi di Palembang.
2007 lalu menerbitkan kumpulan cerpen, Kaos Politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar