Senin, 26 April 2010

cerpen - Motor Tua

cerpen - Motor Tua


Cerpen


Motor Tua

Motor tua itu, sesungguhnya masih bagus. Hanya saja debu dan sarang laba-laba membuatnya seakan menjadi seonggok besi tua tak berguna di sudut gudang. Banyak cerita yang dibawa motor tua itu. Mulai dari masa-masa sekolah pemiliknya, pacaran, kampanye pemilu hingga beralih tangan ke generasi penerus sang pemilik. Anaknya.

Kini, kalau saja motor itu bisa bercerita, dia akan memutar kembali rekaman masa lalunya.

Mulai dari dia ketika dibayar dengan kontan oleh Ibnu Hajar untuk anaknya, Amirullah yang saat itu naik ke kelas III SMA. Itu tahun 1970. Dengan nilai rata-rata 8, Amirullah  dapat kelas paspal. Jurusan paling bergengsi kala itu.

Hadiah dari orang tuanya yang pengusaha ternama di Palembang, sebuah motor. Beroda besar, dengan tanki bensin juga besar. Warnanya hitam.

Tak banyak yang bisa pegang motor ketika itu. Jadilah, dengan celana cutbrai, Amirullah jadi pusat perhatian. Mujur, prestasi belajarnyapun semakin bagus. Dia juga aktif di organisasi sekolahnya. Banyak teman, luas pergaulan, ditambah punya kendaraan tentu saja membuat pemuda Amirullah punya banyak kesempatan.

Tamat SMA, dia pun melanjutkan kuliah ke Pulau Jawa. Motor kebanggaannya dibawa. Pilihan orangtuanya memang tepat. Amirullah tak semata bagai katak dalam tempurung. Pergaulan dan pengalamannya semakin luas.

Bukan saja soal kuliah tapi juga soal wanita. Gonta-ganti pacar bukanlah hal aneh bagi Amirullah. Saksi matanya, motor gede itu.
Dengan suara besar dan jok besar, pantat-pantat gadis pun  tak sedikit telah menikmati empuknya jok motor itu.

Balasannya, tentu sang pemilik pun bisa merasakan getaran gadis-gadis itu. Sampai akhirnya, Amirullah tercantol seorang gadis. Umiyati, namanya. Belum tuntas kuliah, keduanya terikat tali perkawinan.

 Setahun kemudian, lahirnya seorang bayi. Namanya Amiruddin. Dia berumur 3 tahun, sang ayah tamat kuliah. Sang balita dan ibunya diboyong ke Palembang.

Naluri bisnis Amirullah jalan. Organisasinya juga. Dia sukses menjadi pemborong, juga menjadi aktivis partai. Dengan motor besar, waktu kampanye dia turun jalan. Ikut keliling kota bahkan ke daerah-daerah.

Saat pemilihan umum, di partai berkuasa, dia ikut terpilih. Kini, statusnya anggota dewan. Dari luar, semuanya tampak begitu mudah.
Meski sesungguhnya tak segampang itu. Perkawinannya pernah nyaris bubar. Gara-gara sang istri cemburu karena kedekatannya dengan  sekretaris ketika sibuk-sibuknya berpartai.

Kalau saja, dia tak sabar, keinginan cerai istrinya bakal ibarat gayung bersambut. Tapi, dia masih sabar dan memang pandai menyimpan rahasia.

Kecemburuan itu tak terbukti. Meski sesungguhnya memang wajar dicemburui karena hubungan mereka sudah terlalu jauh. Motor hitam gede itulah saksi matanya. Sama seperti dulu ketika dia kuliah.

Begitupun bisnisnya, nyaris roboh. Karena, antara politik dan bisnis pernah tak seimbang. “Beruntung, dengan kedudukan  terhormat sebagai anggota dewan, proyek-proyeknya jalan. Dan pengalamannya  berbisnis membuatnya tahu liku-liku proyek,” tutur sang ayah, Ibnu Hajar kepada rekannya saat masih sehat. Kini, Ibnu Hajar memang sudah meninggal.

Memang, Ibnu Hajar pun tak bisa memastikan, mana posisi anaknya yang lebih menunjang. Apakah status pengusahanya menunjang aktivitas politiknya. Atau, aktivitas politiknya yang  mendukung usaha anaknya.

Yang jelas, keduanya memberikan modal bagi Amrullah untuk mencalon kembali sebagai anggota dewan. Dan dia pun terpilih kedua kalinya. Motor tua tetap menjadi andalannya pada saat menjelang pemilihan umum.

Dia tampak gagah di atas sadel sepeda motor. Iring-iringan sepeda motor tampak gagah dengan dikawal vorider yang meraung-raung sirine dan lampunya berkelap-kelip.

Teriakan dan yel-yel memuji tokoh dan kepartaian Amirullah mengiringnya mendapat posisi sebagai anggota dewan. Dua kali dia duduk di kursi dewan.

Meski tak banyak yang bisa diperjuangkan bagi orang banyak kala menjadi anggota dewan, setidaknya bagi partai dan orang-orang dekatnya, Amirullah adalah orang baik.

Dan memang Amirullah selalu tampil saat sidang dan rapat di gedung dewan. Dia menjadi orang yang paling banyak bicara. Tidakpernah tertidur ketika sidang. Habis, gizinya bagus.
Dan itu diwariskan ke anaknya, Amirudin. Nyaris sama, perjalanan hidup sang anak dengan dirinya dulu. Bedanya, dulu orang tua Amirullah, Ibnu Hajar,  pengusaha murni. Amirullah, pengusaha ya politikus. Dan, anaknya pun diajarkan berorganisasi dan berpolitik.

Di nomor jadi, sang anak pun dipasang.  Dengan motor besar milik ayahnya dia pun kembali mengulang sukses. Terpilih menjadi anggota dewan. Seakan, menggantikan kedudukan ayahnya. Kursi yang pernah diduduki ayahnya dirasakan juga olehnya.

Hanya saja, politik berubah. Ketika pemilu diulang saat memasuki tahun kedua,  ketika masa reformasi bergulir, Amiruddin tak terpilih lagi. Dia terpental.

Usahanya pun kini hancur. Tinggallah, dia hanya mengurusi proyek yang tak dapat tender lagi. Tak sekuat ayahnya dulu. Motor tua itu pun tak terurus.

Motor itu kini mau bercerita banyak. Tapi, adakah orang masih mendengarkan. Masih kah motor besar itu segagah dulu. Saat motor-motor Cina dengan body yang sama besarnya juga kini telah banyak merajai jalanan. Adakah yang mau membersihkan motor itu.


Pemilihan umum kini pun telah berlalu. Dengan metode yang berbeda dari sebelumnya. Amiruddin, bukannya tak ikut. Meski bukan di nomor jadi, dia berjuang setengah mati. Baik itu tenaga maupun biaya.


“Pemilu sekali ini beda. Tak penting nomor urut. Asal banyak yang milih kita bisa jadi,” ujar Amiruddin kepada istrinya yang sebelumnya sempat mengingatkan.

Ketika penghitungan suara molor karena bermasalah, Amiruddin sempat stress. Melihat angka perolehannya seperti sulap yang gagal. Sim salabimnya sepertinya tak mempan lagi. Apalagi, beberapa kali, setelah penghitungan suara usai,  jumlah perolehan suara beberapa kali juga berubah. Tapi anehnya, perolehan suaranya seakan tak bergeming.

Amiruddin memang tak masuk hitungan. Bahkan, partainya pun tak satupun dapat kursi. “Sayang, kamu salah pilih kendaraan. Kalau saja, kendaraan kamu tepat, mungkin gedung dewan bisa kamu masuki lagi,” komentar seorang teman ketika  Amiruddin berkeluh kesah.

Mendengar kendaraan, Amiruddin pun teringat motor peninggalan turun temurun dari orang tuanya. Motor itu sebenarnya memang masih bagus. Tapi sayang, tak masuk dalam sebagian otaknya. Sehingga, hanya teronggok di sudut rumah.

Dia sempat menatap motor itu. Terbayang, betapa gagahnya ketika ayahnya dan dia juga sempat mencicipi pamor motor itu. Tapi apa mau dikata, semuanya telah berlalu. Motor itu memang bukan seakan besi tua. Tapi memang sudah menjadi besi tua.

Amiruddin, hanya bisa berkata motor..motor.. motor.. motor. Dia tak mengenali lagi istrinya. Anaknya. Temannya. Partainya sekalipun. Termasuk lambang partainya. Yang ada di otaknya mungkin motor tua yang gagah sehingga yang naik pun menjadi gagah.

Makanya, meski tanpa motor, kini Amiruddin pun mengelilingi kota seakan naik motor. Mulutnya pun bergetar. Ngg Ngg Ngg Rrrrrr. Menirukan bunyi motor.



Palembang, 20 Juni 2004

Dimuat di sinar harapan, edisi Sabtu 31 Juli 2004


Tidak ada komentar:

Posting Komentar