Cerpen
Motor Tua
Motor tua itu, sesungguhnya
masih bagus. Hanya saja debu dan sarang laba-laba membuatnya seakan menjadi
seonggok besi tua tak berguna di sudut gudang. Banyak cerita yang dibawa motor
tua itu. Mulai dari masa-masa sekolah pemiliknya, pacaran, kampanye pemilu
hingga beralih tangan ke generasi penerus sang pemilik. Anaknya.
Kini, kalau saja motor itu
bisa bercerita, dia akan memutar kembali rekaman masa lalunya.
Mulai dari dia ketika dibayar
dengan kontan oleh Ibnu Hajar untuk anaknya, Amirullah yang saat itu naik ke
kelas III SMA. Itu tahun 1970. Dengan nilai rata-rata 8, Amirullah dapat kelas paspal. Jurusan paling bergengsi
kala itu.
Hadiah dari orang tuanya yang
pengusaha ternama di Palembang, sebuah motor. Beroda besar, dengan tanki bensin
juga besar. Warnanya hitam.
Tak banyak yang bisa pegang
motor ketika itu. Jadilah, dengan celana cutbrai, Amirullah jadi pusat
perhatian. Mujur, prestasi belajarnyapun semakin bagus. Dia juga aktif di
organisasi sekolahnya. Banyak teman, luas pergaulan, ditambah punya kendaraan
tentu saja membuat pemuda Amirullah punya banyak kesempatan.
Tamat SMA, dia pun melanjutkan
kuliah ke Pulau Jawa. Motor kebanggaannya dibawa. Pilihan orangtuanya memang
tepat. Amirullah tak semata bagai katak dalam tempurung. Pergaulan dan
pengalamannya semakin luas.
Bukan saja soal kuliah tapi
juga soal wanita. Gonta-ganti pacar bukanlah hal aneh bagi Amirullah. Saksi
matanya, motor gede itu.
Dengan suara besar dan jok
besar, pantat-pantat gadis pun tak
sedikit telah menikmati empuknya jok motor itu.
Balasannya, tentu sang pemilik
pun bisa merasakan getaran gadis-gadis itu. Sampai akhirnya, Amirullah
tercantol seorang gadis. Umiyati, namanya. Belum tuntas kuliah, keduanya
terikat tali perkawinan.
Setahun kemudian, lahirnya seorang bayi.
Namanya Amiruddin. Dia berumur 3 tahun, sang ayah tamat kuliah. Sang balita dan
ibunya diboyong ke Palembang .
Naluri bisnis Amirullah
jalan. Organisasinya juga. Dia sukses menjadi pemborong, juga menjadi aktivis
partai. Dengan motor besar, waktu kampanye dia turun jalan. Ikut keliling kota bahkan ke
daerah-daerah.
Saat pemilihan umum, di partai
berkuasa, dia ikut terpilih. Kini, statusnya anggota dewan. Dari luar, semuanya
tampak begitu mudah.
Meski sesungguhnya tak
segampang itu. Perkawinannya pernah nyaris bubar. Gara-gara sang istri cemburu
karena kedekatannya dengan sekretaris
ketika sibuk-sibuknya berpartai.
Kalau saja, dia tak sabar,
keinginan cerai istrinya bakal ibarat gayung bersambut. Tapi, dia masih sabar
dan memang pandai menyimpan rahasia.
Kecemburuan itu tak terbukti.
Meski sesungguhnya memang wajar dicemburui karena hubungan mereka sudah terlalu
jauh. Motor hitam gede itulah saksi matanya. Sama seperti dulu ketika dia
kuliah.
Begitupun bisnisnya, nyaris
roboh. Karena, antara politik dan bisnis pernah tak seimbang. “Beruntung,
dengan kedudukan terhormat sebagai
anggota dewan, proyek-proyeknya jalan. Dan pengalamannya berbisnis membuatnya tahu liku-liku proyek,”
tutur sang ayah, Ibnu Hajar kepada rekannya saat masih sehat. Kini, Ibnu Hajar
memang sudah meninggal.
Memang, Ibnu Hajar pun tak
bisa memastikan, mana posisi anaknya yang lebih menunjang. Apakah status
pengusahanya menunjang aktivitas politiknya. Atau, aktivitas politiknya
yang mendukung usaha anaknya.
Yang jelas, keduanya
memberikan modal bagi Amrullah untuk mencalon kembali sebagai anggota dewan.
Dan dia pun terpilih kedua kalinya. Motor tua tetap menjadi andalannya pada
saat menjelang pemilihan umum.
Dia tampak gagah di atas sadel
sepeda motor. Iring-iringan sepeda motor tampak gagah dengan dikawal vorider
yang meraung-raung sirine dan lampunya berkelap-kelip.
Teriakan dan yel-yel memuji
tokoh dan kepartaian Amirullah mengiringnya mendapat posisi sebagai anggota
dewan. Dua kali dia duduk di kursi dewan.
Meski tak banyak yang bisa
diperjuangkan bagi orang banyak kala menjadi anggota dewan, setidaknya bagi
partai dan orang-orang dekatnya, Amirullah adalah orang baik.
Dan memang Amirullah selalu
tampil saat sidang dan rapat di gedung dewan. Dia menjadi orang yang paling
banyak bicara. Tidakpernah tertidur ketika sidang. Habis, gizinya bagus.
Dan itu diwariskan ke anaknya,
Amirudin. Nyaris sama, perjalanan hidup sang anak dengan dirinya dulu. Bedanya,
dulu orang tua Amirullah, Ibnu Hajar,
pengusaha murni. Amirullah, pengusaha ya politikus. Dan, anaknya pun
diajarkan berorganisasi dan berpolitik.
Di nomor jadi, sang anak pun
dipasang. Dengan motor besar milik
ayahnya dia pun kembali mengulang sukses. Terpilih menjadi anggota dewan.
Seakan, menggantikan kedudukan ayahnya. Kursi yang pernah diduduki ayahnya
dirasakan juga olehnya.
Hanya saja, politik berubah.
Ketika pemilu diulang saat memasuki tahun kedua, ketika masa reformasi bergulir, Amiruddin tak
terpilih lagi. Dia terpental.
Usahanya pun kini hancur. Tinggallah,
dia hanya mengurusi proyek yang tak dapat tender lagi. Tak sekuat ayahnya dulu.
Motor tua itu pun tak terurus.
Motor itu kini mau bercerita
banyak. Tapi, adakah orang masih mendengarkan. Masih kah motor besar itu
segagah dulu. Saat motor-motor Cina dengan body yang sama besarnya juga kini
telah banyak merajai jalanan. Adakah yang mau membersihkan motor itu.
Pemilihan umum kini pun telah
berlalu. Dengan metode yang berbeda dari sebelumnya. Amiruddin, bukannya tak
ikut. Meski bukan di nomor jadi, dia berjuang setengah mati. Baik itu tenaga
maupun biaya.
“Pemilu sekali ini beda. Tak
penting nomor urut. Asal banyak yang milih kita bisa jadi,” ujar Amiruddin
kepada istrinya yang sebelumnya sempat mengingatkan.
Ketika penghitungan suara
molor karena bermasalah, Amiruddin sempat stress. Melihat angka perolehannya
seperti sulap yang gagal. Sim salabimnya sepertinya tak mempan lagi. Apalagi,
beberapa kali, setelah penghitungan suara usai,
jumlah perolehan suara beberapa kali juga berubah. Tapi anehnya,
perolehan suaranya seakan tak bergeming.
Amiruddin memang tak masuk
hitungan. Bahkan, partainya pun tak satupun dapat kursi. “Sayang, kamu salah
pilih kendaraan. Kalau saja, kendaraan kamu tepat, mungkin gedung dewan bisa
kamu masuki lagi,” komentar seorang teman ketika Amiruddin berkeluh kesah.
Mendengar kendaraan, Amiruddin
pun teringat motor peninggalan turun temurun dari orang tuanya. Motor itu
sebenarnya memang masih bagus. Tapi sayang, tak masuk dalam sebagian otaknya.
Sehingga, hanya teronggok di sudut rumah.
Dia sempat menatap motor itu.
Terbayang, betapa gagahnya ketika ayahnya dan dia juga sempat mencicipi pamor
motor itu. Tapi apa mau dikata, semuanya telah berlalu. Motor itu memang bukan
seakan besi tua. Tapi memang sudah menjadi besi tua.
Amiruddin, hanya bisa berkata
motor..motor.. motor.. motor. Dia tak mengenali lagi istrinya. Anaknya.
Temannya. Partainya sekalipun. Termasuk lambang partainya. Yang ada di otaknya
mungkin motor tua yang gagah sehingga yang naik pun menjadi gagah.
Makanya, meski tanpa motor,
kini Amiruddin pun mengelilingi kota
seakan naik motor. Mulutnya pun bergetar. Ngg Ngg Ngg Rrrrrr. Menirukan bunyi
motor.
Dimuat di
sinar harapan, edisi Sabtu 31 Juli 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar