Sabtu, 21 Februari 2009

Bab IV, Pengabdian Terbaik

Bab IV, Pengabdian Terbaik






Pilihan Sarjan








Sejak diwisuda dan menerima ijazah, rutinitas yang dikerjakan Sarjan hanya berdiri di depan papan tulis dengan senjata kapur di tangan. Goresan-goresan berwarna putih tak terasa telah melahirkan pula sarjana-sarjana bagi muridnya yang bernasib baik melanjutkan kuliah. Meski ada juga yang cuma sekadar preman pasar, polisi, tentara, pegawai negeri sipil, bahkan ada pula yang mungkin menjadi lonte.
Tapi, terus terang, tidak ada dan tidak pernah Pak Sarjan --demikian dia bisa dipanggil murid-muridnya— mengajarkan muridnya untuk menjadi seperti yang mereka jalani sekarang ini. Entah itu polisi, tentara, sarjana, ataupun lonte.
Yang ada, hanyalah bagaimana muridnya bisa berbicara, menulis, menyimak, dengan baik. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Soalnya, Sarjan Sarjana Pendidikan adalah guru pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bahkan, terkadang dia juga mengajarkan muridnya berpuisi, menulis cerpen, bahkan bermain drama. Meski dia sendiri tak tahu, apakah ada diantara muridnya di kemudian hari bisa menerima ajarannya dengan baik dan menerapkannya.
Sarjan sendiri, sesungguhnya merupakan tipe guru yang memang pendidik. Dia tidak macam-macam. Karena kepandaiannya hanya mengajar maka dia tidak bisnis lain. Tidak ikut menjual buku, juga tidak bisnis dalam penerimaan siswa baru. Karena memang, sekolahnya sekolah swasta.
Apa ada yang mau memberi duit agar bisa diterima di sekolah ini. Pernah itu diutarakannya kepada rekan kerjanya ketika mereka bercerita soal sekolah negeri yang panen kalau saat penerimaan siswa baru.
Perkawinan Sarjan pun tak neko-neko. Setahun setamat kuliah, meski masih berstatus guru honor dan sampai sekarang 15 tahun kemudian masih berstatus guru honor, dia melamar gadis tetangganya. Anak seorang tukang sampah.
Paini, namanya. Hasil perkawinan dengan Paini telah lahir tiga orang anak. Mereka bersyukur meski tak bisa foya-foya, kehidupan keluarga ini lumayan.

Kontrak rumah yang berkamar satu, dimana dindingnya dari kayu dan atap seng, tak pernah nunggak. Begitu juga bayaran listrik.
Hanya saja, yang menjadi pertanyaan Sarjan, ketika anak sulungnya sudah tamat taman kanak-kanak, ternyata umurnya belum cukup untuk masuk sekolah dasar.
Kalau saja, tetangganya tidak ada yang cerita bahwa tetangganya yang lain dulu juga sama seperti anak Sarjan dan bisa diterima di SD, barangkali si sulung, Parman, masih tidak bersekolah.
“Bisa. Datangi saja guru yang rumahnya di ujung lorong sana. Beri dia amplop, tak usah banyak-banyak, nanti tanpa dites pun anakmu bisa masuk ke kelas I,” ujar sang tetangga.
Sarjan awalnya tak mau. Apalagi, dia memang tahu syarat masuk SD itu mestinya 6 tahun. Istrinya lah yang ngotot. Sampai akhirnya mengambil keputusan sendiri.
Sarjan tak marah ketika tahu anaknya ternyata memang bisa masuk di SD. Begitupun ketika disodori tagihan uang buku dari sekolah. Jumlahnya ternyata lebih besar dari yang mesti dikeluarkan murid-murid di SMA tempatnya mengajar.
Sudahlah, pikir Sarjan, mungkin itulah nasib orang tua. Seperti itulah pula ketika di sekolahnya ada masuk guru kontrak baru. Padahal, Sarjan sendiri sudah tiga kali ikut tes guru kontrak ** tak pernah lulus sejak tahun 1999. Sementara, guru kontrak baru itu setahunya sebelumnya belum pernah honor.
Padahal, persyaratan ikut tes guru kontrak mestinya memiliki surat rekomendasi dari kepala sekolah tempatnya honor.
Sarjan tak mau susah memikirkan. Yang penting baginya, bagaimana dia berhemat seirit-iritnya. Soalnya, dengan masuknya dua guru kontrak baru, sementara jumlah siswa di sekolahnya tak seberapa, berarti jumlah jam mengajarnya kurang.
Itu artinya, honor yang diterimanya semakin berkurang. Dan lima tahun terakhir, memang sekolahnya semakin kurang diminati murid baru. Soalnya, fasilitas sekolah itu memang tergolong kurang. Karena berstatus terdaftar, maka kalau ujian harus menginduk dengan sekolah lain. Karenanya, saat kelulusan, biasanya sekolahnya itulah yang siswanya banyak tak lulus.
Uang sekolahnya memang murah. Mungkin karena sering banyak yang tak lulus, orang-orang tua pun khawatir mendaftarkan ke sekolah itu. Kecuali bagi mereka yang memang terpaksa.
Kini, dengan hanya mengajar dua kelas I, Sarjan hanya mengajar 10 jam seminggu. Berarti, honor yang diterimanya setiap adalah bayaran satu jam pelajaran di kali 10 jam mengajar***. Honornya sekarang Rp 7.000 per jam. Berarti dia menerima Rp 70.000 sebulan. Beruntung, dia masih dapat honor dari tugasnya mengurus siswa dan Pramuka. Maka, digenap-genapkan dapatlah Rp 150.000.
Sementara anak keduanya kini telah juga masuk SD. Kalau dulu, masih lumayan karena dia selain mengajar kelas I juga kelas II dan III.
Beban tugas dengan berkurangnya jam mengajar tentu saja berkurang. Tetapi, tetap saja Sarjan harus menulis satuan pelajaran. Harus mengoreksi latihan, mengoreksi ulangan harian, meski jumlahnya juga berkurang.
Dengan demikian, kini Sarjan punya banyak waktu luang. Dia lebih banyak di kantor. Hanya saja, banyak waktu luang ternyata bukan membuatnya senang. Justru pusing. Apalagi, kalau pulang, Paini selalu ngomel.
Soal jajan anak, bayaran sekolah, duit beli buku, beli beras lah. Akibatnya terkadang, Sarjan pun tak sempat membuat persiapan mengajar. Padahal, seperti pernah diajarkan dosennya dulu, sebelum mengajar harus ada persiapan. Bagaimana membuat pengantar, menggelitik siswa agar bertanya, teknik menjawab pertanyaan siswa. Tapi, itu semua kini telah tak diingatnya lagi. Beruntung, Sarjan punya rasa humor yang tinggi. Sehingga dia bisa lebih banyak membuat lelucon. Sehingga tak terasa jam pelajaran berlalu.
Bagi muridnya sesungguhnya apa yang dilakukan Sarjan tak ubahnya dengan yang dilakukan guru lain yang tak siap dengan materi. Hanya saja guru lain punya cara tersendiri. Misalnya memberikan catatan. Salah seorang murid yang tulisannya bagus disuruh mencatatkan buku pelajaran yang harganya mahal ke papan tulis. Atau, mulai dari menit pertama hingga detik terakhir jam pelajaran marah-marah.
Beruntung, suatu hari Sarjan bertemu bekas tetangganya, Iman. Dia diajak naik motor. Motor baru. Masih mengkilat. Ternyata itu motor ojek.
Terpikirlah untuk ngojek. “Gimana caranya ngojek,” tanya Sarjan.
“Kamu kan ngajar. Gengsi, nanti ketemu murid,” jawab sang teman yang buta huruf karena waktu kecilnya bandel dan tak mau sekolah.
Sarjan tak bergeming. Akhirnya dia pun resmi jadi pengojek. Hari pertama, dia tak sengaja membonceng seorang pegawai negeri sipil (PNS) yang mengenakan seragam Korpri. Tampaknya dia terburu-buru.
Begitu tiba di tempat tujuan, Sarjan membuka helm, sang penumpang pun mengenali Sarjan. “Bapak, guru saya dulu kan,” tanya penumpang yang ternyata kini sudah jadi PNS di kantor walikota. Ongkos pun tak perlu dikembalikan. Uang Rp 20.000-an ribu masuk ke kantong. Lumayan, setoran sudah dapat.
Kini sekolah tempat Sarjan mengajar heboh. Soalnya, Sarjan yang guru honor tiba-tiba bisa naik motor.
“Pasti dia beli togel,” bisik-bisik guru kontrak kepada temannya. Tak satupun yang menyebut kemungkinan Sarjan korupsi. Sebagai guru, apa sih memang bisa dikorupsi. Paling korupsi waktu. “Apa bisa untuk beli motor? Beli jam saja tak bisa. Padahal, jam kan untuk mengetahui waktu,” bisik-bisik seputar Sarjan di ruang guru.
Sarjan sendiri tidak ambil peduli. Dia tetap mengajar dengan rajin. Ngojek pun kian giat.
Sekali waktu, saat ada razia, Sarjan terkena tilang. Maklum, penumpangnya tak pakai helm. Dia juga belum punya Surat Izin Mengemudi (SIM).
Seorang komandan polisi mendekatinya. “Anda melakukan banyak kesalahan. Silakan lanjutkan perjalanan. Ini saya pinjami helm untuk penumpang Anda. Besok temui saya di kantor,” ujar sang komandan yang tidak mengembalikan surat-surat motornya .
Sarjan sama sekali tak tahu dan mengerti kalau sang komandan itu bekas muridnya dulu. Esoknya, dengan bantuan bekas siswanya itu, Sarjan pun mengantongi SIM. Surat tilangnya pun bisa ditebus meski tanpa siding. Sarjan sebenarnya mau menolak kebaikan sang komandan yang begitu berwibawa di depan anak buahnya. Tetapi, dia seakan tak menemukan cara yang tepat untuk itu.
Dengan SIM di tangan, kini Sarjan pun kian giat. Bahkan kini dia pun sering ngojek sampai larut malam.
Hingga suatu ketika dari sebuah hotel menghentikan laju sepeda motornya, seorang wanita berpakaian seksi. Ketika menumpang di sadel sepeda motor, berhembus aroma yang lembut. Pasti parfum mahal. Ketika sepeda motor sudah berjalan, baru wanita itu menyebut alamat yang ditujunya. Terdengar isak tangis.
Tanpa diminta, wanita pun bercerita bahwa dia wanita panggilan. Tetapi dia sangat tersinggung harga dirinya ketika lelaki pelanggannya meminta layanan yang tak masuk akal. Dia terpaksa melayani. Tetapi, lelaki itu pun ditinggalkannya. Karena telah menyiksa dan memukulinya.
Tak terasa sepeda motor sudah tiba di tempat tujuan. Sarjan ingat, di sini beberapa tahun lalu dia pernah mengantar siswinya yang pingsan saat pelajaran olahraga dengan menumpang becak. Ketika wanita yang diboncengnya mau membayar, terlihat jelas siapa wanita itu. Bekas muridnya. Uang lima puluhan ribu tak disentuhnya. Sarjan pun memacu sepeda motornya. Tinggallah sang wanita melongo sembari mengelap air matanya yang terus mengalir.
Kini, memang Sarjan sudah menemukan peluang. Sebagai guru dia tetap guru honor. Tidak bisnis buku, tidak bisnis siswa. Namun di luar itu, dia seorang pengojek. Teman-teman mangkalnya tahu dia adalah guru sekolah. Tetapi teman-teman gurunya tak tahu dia pengojek.
Paini kini bisa lebih ramah. Dia setiap hari bisa menerima uang sisa setoran dari suaminya. Juga bisa naik motor. Anak-anaknya juga tak perlu lagi menangis kalau minta uang jajan. Saban Sabtu, setiap minggu keluarga ini pun bisa cuci mata keliling kota naik motor.
Saat teman-temannya sibuk mengurus persyaratan untuk ikut tes menjadi guru PNS, Sarjan justru sibuk mengantar penumpang. Dia panen besar, mulai dari rekan-rekannya melengkapi persyaratan sampai mendaftar. Juga saat pelaksanaan seleksi. Dia merasa cukuplah menjadi guru honor. Tak ada bedanya dalam pandangan anak-anak Sarjan, apakah sang ayah guru honor atau menjadi guru yang PNS.
Tugasnya, sama-sama mengajar. Yang dihadapi sama-sama anak didik. Yang membedakan cuma , kalau ayahnya ikut tes menjadi guru PNS maka mereka harus berpisah karena sang ayah pasti ditempatkan di desa. Selain itu, mungkin mereka tak bisa lagi jalan-jalan sore dengan motor melihat matahari kembali ke peraduannya.
Di benak Sarjan, nanti dia akan membeli lagi dua atau tiga sepeda motor. Lalu, motor itu kan dipercayakan kepada temannya. Dia tinggal menerima setoran. Naik pangkat menjadi juragan ojek. Nanti, tentunya waktu untuk mengajar akan semakin banyak. Lalu istrinya Paini akan diberi modal untuk membuka warung di rumah. Dari warung, kalau mau akan berkembang menjadi mini market.
Belum lagi dia membeli motor, istrinya belum berjualan, seorang penumpangnya sudah keburu melilitkan kawat ke lehernya setelah diantar ke tempat yang sepi sesudah magrib. Sarjan pun terkapar, dan motornya berpindah tangan.
Di kamarnya, bertumpuk pekerjaan rumah dan kertas ualangan midsemester belum dikoreksi. Hingga batas waktu pengumpulan nilai, Sarjan tak sempat menyerahkan hasil koreksiannya. Akibatnya, terpaksa pembagian rapor di sekolahnya tertunda karena nilai pelajaran yang dipegang Sarjan masih kosong dan nilai untuk kelas yang dipercayakan kepada Sarjan sebagai walikelasnya belum sempat ditulis.
Ketika ada penemuan mayat yang awalnya tak beridentitas sudah membusuk, rekan-rekan guru dan pihak sekolah tak percaya kalau yang menjadi korban penumpang ojek itu adalah Sarjan. Mereka baru sadar setelah melayat dan menghadiri pemakaman, siapa sesungguhnya Sarjan itu. Sang istri dan anak-anaknya di sela-sela isak tangisnya sempat bercerita tentang suami dan ayah mereka..

Palembang, November 2005

* Diilhami dari tewasnya seorang tukang ojek korban perampokan dengan kondisi mengenaskan tahun 2005 lalu di Km 5 Palembang.
* Guru perbantuan sementara (GPS) yang dikontrak oleh pemerintah setiap tahun dengan penghasilan yang lebih besar dibandign guru honor. Lebih dikenal dengan sebutan guru kontrak (kini, para guru kontrak ini sudah diangkat menjadi PNS).

** Di beberapa sekolah menengah, gaji guru honor selama sebulan diperhitungkan dari berapa jam dia mengajar dalam seminggu.

(Dimuat di Tabloid Desa edisi tahun 2005)







Mimpi pun Usai










Djakfar, seorang wartawan muda yang sangat aktif dan sangat menghargai waktu, mestinya memilih pendamping hidup dari kalangan perempuan yang mampu menerimanya apa adanya beserta keidealismeannya dalam menjalankan pekerjaan.
Sayang, jodohnya ternyata wanita yang gemar bermimpi dan selalu berkhayal menjadi orang yang serba berkecukupan dalam kehidupan. Akibatnya, suaminya dipaksa memenuhi keinginan-keinginannya. Tak peduli termasuk pelanggaran kode etik atau bukan. Karena dalam benak sang istri, kode etik wartawan itu untuk suaminya. Bukan untuknya. Maka, tak salah kalau dia melakukan apa yang diperaninya sekarang. Untung sang suami bisa bertahan, meski harus banyak melalap hatinya. Bukan sekadar makan hati.

Terkadang, sambil menulis berita di kantornya, Djakfar sering menggerutu dan berteriak. Setahu teman-temannya itu karena dikejar deadline. Padahal, dia sesungguhnya menyesali mengapa dulu terlalu buru-buru melamar wanita yang baru dikenalnya sekitar lima bulan. Sayang , sekarang semuanya diangapnya telah terlambat. Apalagi, seorang putri telah hadir di tengah mereka.
Yang sering menangis tengah malam saat dia pulang ke rumah. Baru akan memelekkan mata, tangisan putrinya membuatnya terbangun. Setengah terpejam, dia menjawil istrinya agar mengelus kepala sang putri.
Terkadang jawilan itu justru membuat suasana menjadi lain. Karena sesungguhnya tak ada waktu di siang hari untuk bermesraan. Nah, waktu itulah merupakan kesempatan untuk menikmati rasa memiliki istri.
Terkadang pekerjaan belum selesai, sang putri terbangun kembali. Terpaksa pekerjaan suami-istri itu dihentikan terlebih dahulu. Sambil memandang sang istri yang menyusui pewarisnya, Djakfar tersenyum sendiri.

Dan, kenangan pun berlabuh pada masa lalu saat pacaran. Ketika perempuan yang dia nikahi itu masih memiliki pandangan sama dengan dirinya dalam melihat kehidupan rumah tangga. Ketika Djakfar mengajaknya menikah, itu terjadi dua tahun lalu, jurnalis ini sudah menjelaskan bahwa ia berbeda dengan rekan-rekannya yang lain yang tampak lebih mewah kehidupannya.
Ia ceritakan apa-apa yang tidak dia sukai termasuk rekan-rekannya seprofesi yang memanfaatkan kesempatan dari orang-orang yang gila publikasi ataupun mereka-mereka yang punya jabatan dan kekayaan namun takut kalau belangnya diketahui umum.
”Saya tidak bisa menikmati hidup dengan memanfaatkan ketakutan orang-orang. Atau mengambil manfaat dari orang yang ingin dipuji-puji dengan tulisan yang manis-manis dan mampu membubung ke langit,” kata Djakfar. Masih banyak hal yang dijelaskan Djakfar sebelum perempuan itu dia nikahi, dan semuanya diungkapkan agar perempuan itu memahami orang seperti apa yang akan menjadi suaminya kelak. Selain tak mungkin kaya, juga sangat sedikit punya waktu untuk keluarga.

Selayaknya para gadis muda yang selalu terlihat lugu dan terkesan sangat memaklumi Djakfar, perempuan itu mengangguk-angguk. Dari caranya mengangguk, Djakfar menarik kesimpulan bahwa perempuan itu mengerti dan paham kehidupan seperti apa yang akan dilakoni jika menjadi istri seorang wartawan.
Tapi, setelah berjalan dua tahun dan seorang anak hadir di antara mereka, segalanya berubah termasuk cara perempuan itu berpikir dan memandang kehidupan ini. Tiap sebentar ia selalu mengeluhkan perabotan-perabotan yang kurang lengkap dan tidak seperti milik teman-teman seprofesinya suaminya yang lain.
”Soal pekerjaan sama, tetapi perabotannya lebih komplit. Ada tv, kulkas, VCD, handphonenya bagus, sepeda motor, bahkan mobil. Kita apa, makan saja susah,” itu yang kerap menjejali telinga Djakfar.
Mula-mula Djakfar mengingatkan istrinya tentang komitmen mereka saat berpacaran, teapi istrinya selalu mematahkan kalimat-kalimatnya dengan mengatakan, ”Itu dulu, sekarang lain.” Terkadang ketus, seringkali sedikit manja. Istrinya juga membuat perbandingan-perbandingan sehingga Djakfar sangat terpukul, kecewa, dan tak bisa berkata apa pun.

Perubahan istrinya yang drastis membuat Djakfar tidak bisa menerimanya dan menjadi sangat terpukul, tetapi tidak membuat wartawan itu kehilangan akal sehat. Di luar rumah, dalam menjalankan pekerjaannya, tetap saja sebagai wartawan yang baik dan jujur. Kejujurannya itu sudah diketahui teman-teman seprofesinya, dan mereka menyebutnya sebagai wartawan yang idealis dan tak kenal kompromi. Alias bodoh. Meskipun ia sering mendengar julukan itu ditujukan kepadanya, tidak membuatnya tersinggung karena ia berpikiran sebaliknya, rekan-rekannyalah yang keliru.
Kekeliruan mereka adalah kekeliruan seorang manusia yang tidak bisa mengendalikan pikiran-pikiran dan mimpi-mimpinya, sehingga semua yang mereka lakukan dikerjakan tanpa memedulikan hati nurani. Sikap seperti itu membuat Djakfar tetap bertahan meskipun rekan-rekan seprofesinya mengucilkannya, memperlakukannya seperti orang yang memiliki banyak kesalahan dalam hidup dan seolah-olah kesalahan-kesalahan itu tidak bisa lagi dimaafkan.
Sungguh, kalau bukan Djakfar, pastilah perlakuan-perlakuan seperti itu sudah lama menimbulkan persoalan besar. Djakfar sadar betul soal itu meskipun tidak pernah mempersoalkannya, dan tetap berlaku seperti biasanya karena ia yakin tidak ada kesalahan dari apa yang pernah dilakukannya selama ia masih berada dalam jalur yang sudah digariskan profesinya. Satu-satunya kesalahan yang disadari betul adalah membiarkan rekan-rekannya menganggapnya selalu melakukan kekeliruan dalam hidup.
Bukan berarti ia tidak pernah berusaha meyakinkan mereka bahwa anggapan mereka itulah yang keliru, tetapi setiap ia berupaya menjelaskan hal itu mereka langsung menunjukkan sikap tidak senang. Tidak jarang mereka langsung marah-marah, mengajak Djakfar berkelahi seperti anak kecil yang cepat naik darah karena mainannya direbut. Kalau sudah begitu, Djakfar biasanya memilih diam, membiarkan seribu caci-maki ditujukan kepadanya. Karena sudah terbiasa, ia tidak akan gampang tersinggung, malah tersenyum lebar sambil mengerjakan pekerjaannya yang tak habis-habisnya. Mengetik di keyboard komputer. Kalau saja menggunakan mesin tik, pastilah tuts huruf akan ditekannya keras-keras.
Karena komputer, ia takut rusak. Kalau rusak, biasanya dibebankan kepada pengguna komputer. Dipotong gaji. Karenanya, dia tetap pelan-pelan menekan huruf dan angka di keyboard komputernya. Pelariannya, cuma sekadar main game sambil maling-maling waktu. Karena main game pun kalau ketahun akan dipersoalkan saat rapat bulanan. Apalagi, kalau saat tiba deadline ternyata masih ada berita yang masih diketik. Kambing hitamnya pastilah karena ada yang sering main game saat jam kerja.
Djakfar tidak pernah berubah. Ia tegar dan kuat mempertahankan prinsip-prinsipnya. Ia tidak memosisikan diri untuk selalu mendukung kerja pemerintah dan menginformasikannya kepada masyarakat. Ia lebih mendengarkan dan memedulikan kepentingan rakyat banyak karena itu memang tuntutan profesinya. Ia lebih banyak melakukan kontrol sosial terhadap segala bentuk penyimpangan.
Kebutuhan anak dan istri terpenuhi, itu lebih dari cukup. Djakfar sadar ia cuma seorang wartawan yang terkadang bisa memperjuangkan orang lain tetapi tidak bias memperjuangkan diri sendiri. Terbukti, banyak rekan-rekannya yang begitu gagah memberitakan kekerasan ataupun penindasan bawahan oleh atasanya, tak mampu membela diri ketika di kantor mendapat perlakuan yang sama dari atasan.
Gaji kecil dan kebutuhan keluarga banyak. Istrinya, karena ia istri seorang wartawan, selalu ingin kelihatan seperti istri seorang pemilik koran.
Ia sudah memakluminya. Istrinya selalu membandingkan isi rumah mereka dengan isi rumah rekan-rekan yang biasanya dikunjungi saat arisan bulanan. Memang, kalau soal jam terbang, Djakfar tidak berbeda dengan rekan-rekannya. Tapi, soal kemewahan, jelas sangat menonjol perbedaannya. Rata-rata kawan-kawan seprofesinya, yang memulai profesinya sama, sudah punya berbagai macam harta benda mewah.
Djakfar tidak bisa seperti itu. Karena dia memang tak sanggup untuk itu. Ketidak-sanggupan inilah yang selalu menjadi alasan istrinya untuk memulai pertengkaran. Tentu saja Djakfar tidak suka istrinya bersikap begitu. Itu sebabnya ia tidak pernah meladeni dan membiarkan saja istrinya mengomel. Terkadang ia pikir, kalau sehari saja tidak mengomel, istrinya merasa belum lengkap sebagai istri. Makanya, ia biarkan saja sampai seluruh kata yang ada di kamus dia keluarkan, sampai ia muntah sekalian.

Djakfar tidak peduli. Ia kerjakan apa yang bisa dikerjakan. Kalau tidak ada lagi yang bisa dikerjakan, ia akan mengajak anaknya bercanda meskipun hal ini sering membuat istrinya bertambah marah. Ia akan menarik anak mereka dari tangannya, lalu kembali mengomel yang intinya menyuruh Djakfar keluar rumah melakukan apa saja yang bisa dilakukan agar ada uang tambahan.

Djakfar tidak bodoh, meskipun ia keluar juga akhirnya tapi dia tidak melakukan seperti yang diharapkan istrinya. Dia keluar ya mencari informasi. Lalu ke kantor menulis berita. Dan selama ini memang waktunya sangat padat.
Ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sambilan, takut justru nanti dia kebobolan berita. Media lain dapat berita dia justru tidak dapat. Bisa jadi, selain akan disemporot saat rapat redaksi dia juga bisa-bisa kena sanksi yang beragam. Dan itu sudah dilihatnya dierima rekan-rekannya sekantor.
Sebagai wartawan lapangan, Djakfar sudah ditugaskan di berbagai desk. Pernah di polisi, di rumah sakti, perbankan, pendidikan, kriminal, atau khusus membuat tulisan ringan.
Telah berkeringat darah rasanya dilakukan Djakfar. Dia pun telah beristri dua. Istri pertama, yang selalu ngomel dengan berbagai tuntutan, dan istri kedua adalah profesinya yang menuntut harus siap 24 jam dengan mata dan telinga terbuka maupun kaki dan tangan yang dalam kondisi siap. Dia telah berusaha untuk bersikap adil kepada kedua istrinya itu.
Namun darahnya itu rasanya tak cukup bagi kantornya. Apalagi, semakin hari ternyata, Djakfar seolah lesu darah. Liputan dan laporannya tidak bernas dan menarik lagi. Dari kuantitas, tak memenuhi target. Sampai akhirnya berdasarkan evaluasi terakhir, dia dinyatakan tak layak.
Percuma juga protes. Dengan status karyawan kontrak, akhirnya setelah kontrak terakhir lewat masanya, tak ada kekuatan untuk menahan GM di korannya untuk memutus kontrak.
Djakfar pun sesungguhnya masih bernasib lebih baik. Masih banyak rekannya yang lain ternyata justru bekerja tanpa sehelai kontrak pun. ”Masih mending saya, ternyata ada tiga kontrak kerja yang sempat saya pegang,” ujar Djakfar dalam hati menghibur dirinya dalam perjalanan ke rumah membawa berita pemecatannya.
Kini, tak ada lagi kata konfirmasi, cek dan ricek dalam kesehariannya. Justru yang melakukan konfirmasi adalah pihak kepolisian dan rumah sakit yang menanyakan ke kantor apakah benar sesosok mayat yang ditemukan menjadi korban tabrak lari masih wartawan dari media tersebut. Lalu kantor pun menginformasikan berita itu ke istri Djakfar, sebelum akhirnya berita naas itu pun dibaca banyak orang melalui surat kabar.

Palembang, 10 Mei 2008

(Dimuat di Agung Post, Juni 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar