Ketika Penulis Bersaksi:
Sekapur Sirih untuk Antologi Kaos Politik
Karya sastra –pada hakekatnya—merupakan ekspresi pengalaman manusia secara menyeluruh tentang hidup dan kehidupan atau tentang manusia dan kemanusiaan. Hakekat seperti itu memberi peluang kepada penulis memotret manusia dengan segala sisi kemanusiaan dan kemudian menuangkannya ke dalam buah ciptanya. Kelahiran karya sastra diilhami oleh berbagai kondisi manusia, seperti persaudaraan, penderitaan, cita-cita, perjuangan, dan sebagainya.Realitas kehidupan yang dialami manusia, lengkap dengan berbagai nilai yang terkandung di dalamnya, direkam pengarang dan diolah sedemikian rupa. Kemudian, realitas tersebut diekspresikan pengarang dalam gaya dan bentuk khas yang kemudian disebut dengan karya sastra. Tentu saja setelah hadir dalam karya sastra, realitas-realitas itu hadir sebagai kenyataan fiktif karena berada dalam wadah yang disebut karya fiksi.
Menurut A. Teeuw, setelah sebuah karya sastra itu hadir-termasuk sajak-akan menjadi artefak (benda mati) yang baru mempunyai makna dan menjadi objek estetik jikadiberi arti oleh pembaca, sebagaimana artefak peninggalan purba mempunyai arti bila diberi makna oleh seorang arkeolog. Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak akan bermakna atau bernilai jika tidak diberikan arti atau diungkapkan maknanya oleh pembacanya. Dalam kaitan dengan itu, penulis dan pembaca sama-sama memiliki tanggung jawab yang bersinggungan makna. Pengarang menebarkan makna melalui untaian kata-kata, sedangkan pembaca menggali makna dari untaian kata-kata pengarang tersebut.
Menarik membaca cerpen-cerpen karya Muhamad Nasir yang terhimpun dalam antologi yang diberi tajuk Kaos Politik. Sebagai sebuah karya fiksi, kenyataan-kenataan yang dilukiskan dalam cerpen-cerpen ini adalah kenyataan fiktif. Namun, Muhamad Nasir –sebagai penulis—adalah bahagian dari komunitasnya dan bersinggungan langsung dengan kenyataan-kenyataan yang berlangsung di sekitar kehidupannya. Kenyataan-kenyataan inilah yang menjadi bahan renungan yang kemudian disublimasi sebelum dituangkan ke dalam karya ciptanya.
Sebelas cerpen dihimpun dalam antologi ini. Dalam daftar isi, pengarang sudah membantu pembaca dalam mengategorikan cerpen-cerpennya. Dari sebelas cerpennya, penulis mengategorikan empat cerpen sebagai karya demokrasim tiga cerpen merupakan gambaran sosial, satu cerpen tergolong bermuatan pendidikan dan satu cerpen bernuansa cinta. Terlepas dari penggolongan itu cerpen-cerpen Muhamad Nasir yang terhimpun dalam antologi ini menghadapkan pembaca pada penyuguhan akan pengenalan dan penghayatan terhadap atmosfer kehidupan yang pernah disaksikannya. Meskipun secara jelas penulis mengategorikan cerpen-cerpennya menurut isinya, muatan utama cerpen-cerpen itu lebih condong pada persoalan sosial. Situasi sosial akibat dari sebuah politik digambarkan dalam cerpen-cerpen yang berada pada payung demokrasi.
Selanjutnya, persoalan sosial masyarakat dilukiskan dalam tiga cerpen yang berjudul ”Di Bawah Jembatan”, Bertopeng Gincu”, dan Mimpi pun Usai”. Nasib tua mantan pejuang digambarkan dalam cerpen yang berjudul ”Di ujung Hari” dan Menutup Hari”. Sementara itu, nasib seorang guru bantu dilukiskan dalam cerpen berjudul ”Pilihan Sarjan”. Satu-satunya cerita yang ber nuansa cinta adalah cerpen ”Cinta Kingkong”. Dialog tokoh dalam cerpen ”Cinta Kingkong” mrnggunakan dialek Melayu Palembang.
Perenungan atas hidup dan kehidupan manusia digambarkan Muhamad Nasir dengan gaya yang khas. Persoalan yang menjadi pumpunan penceritaan sebetulnya sangat sederhana. Selajutnya, persoalan yang sederhana itu dikisahkan dengan cara bercerita ”diaan”sehingga memberi peluangan para tokoh untuk berkreasi lebih bebas. Cerita mengalir mengikuti alur cerita dengan penggunaan dialektika bahasa yang tidak sulit dimengerti.
”Bertopeng Gincu” merupakan salah satu cerpen Muhamad Nasir bernuansa sosial dengan menggunakan simbol. Banyak hal yang menyebabkan seseorang menyembunyikan keaslian dengan sebuah kepalsuan (topeng) itulah yang digarap Muhamad Nasir dalam cerpen ini dengan menghadirkan tokoh dan penokohan seorang gadis belia. Oleh karena dihimpit persoala sosial juga, sang gadis rela ”bertopeng” demia sebuah capaian keinginan.
Muhamad Nasir merupakan salah seorang penulis Sumatera Selatan yang turut memperkaya khazanah sastra Indonesia modern dengan karya-karya yang berbentuk cerpen. Cerpen-cerpen Muhamad Nasir yang terhimpun dalam antologi ”Kaos Guruku” ini sebelumnya pernah dimuat di beberapa surat kabar dan tabloid, baik lokal maupun nasional.
Kehadiran antologi ini yang jelas menambah semarak khazanah sastra Indonesia umumnya. Sumatera Selatan khususnya. Namun khalayak sastra berharap agar Muhamad Nasir terus berkarya dan menghadirkan nuansa-nuansa kehidupan melalui karya-karya selanjutnya.
Palembang, Agustus 2008
B. Trisman