Pengantar Tamu, Rita Inderawati Rudy


Cerpen Koran, Audiencenya SiApA SaJa



Sastra koran atau sastra cyber, duluan mana ya? Rasanya baru dua tahun terakhir ini berhembus angin segar sastra cyber, dapur sastra di dunia maya bercokol, media penyaluran bakat cerpenis yang karyanya ditolak redaktur media masa. Di hadapan saya tertata apik cerpen korannya Muhamad Nasir. Sama nggak ya esensinya dengan sastra Koran.
Ada rasa kuatir plus bangga menyeruak ketika penulis cerpen koran ini hadir di hadapan saya dan menyodorkan satu draft cerpen korannya yang tercecer di berbagai media masa antara tahun 1991 hingga kini. Kuatirnya, emangnya bisa ngomentari cerpen sang jurnalis? Saya bukan pekerja seni, sastrawan, jauh … tapi saya akademisi pencinta seni, nyanyi dan jadi polisi saat satu komunitas menjalankan aksinya, memreteli karya sastra. Bangganya, ya iyalah … profesi saya kan mengamati satu komunitas ngotak-ngatik dan memreteli karya sastra SESUKA HATI mereka (biasanya sih cerpen Inggris). Kadang komunitas sastra itu “bergaul intim” dengan cerpen yang sama, kadang juga mereka “bermesraan” dengan cerpen yang dikondisikan berbeda-beda. SESUKA HATI tapi tetap dalam koridor aturan yang baku namun BEBAS, suka-suka bicaranya atau nulisnya, bebas terikat.
Kalau saya boleh berkomentar (tapi cukup kamu saja yang tahu…) cerpen koran yang kamu bendel ini artinya cerpen yang pernah diterbitkan di media masa, yah … tiap akhir satu cerpen kamu tulis “mulung” dari mana cerpen itu. Tapi, saya kan akademisi, yang ngajarin mahasiswa apresiasi karya sastra Inggris dan pernah satu semester berbaur dengan mahasiswa Bahasa Indonesia, kawan senasib dan seperjuangan penulis cerpen koran ini. Sayangnya, saya hanya kebagian satu sesi akhir saja untuk berceloteh tentang apresiasi karya sastra yang meletakkan peran pembaca pada posisi puncak saat menggaulinya. Karena akademisi, saya ingin karya cerpen kamu bisa tuh… dipakai siswa SMA atau mahasiswa.
Setelah puas baca beberapa cerpen, jujur nih … belum “kebaca” semuanya saya mulai paham apa cerpen koran itu. Biasanya, temanya berkisar kehidupan sehari-hari, panjangnya sekitar 5-9 halaman, tokoh ceritanya irit/sedikit, dan ada yang lupa nih… ya diterbitkan di koran. Tapi … koran lokal yang saya beli nggak ada tuh cerpennya? Penasaran, saya telpon mantan mahasiswa saya yang hari-harinya ngelemparin koran ke rumah pelanggan. Katanya, kolom cerpen ada di hari Minggu. Angka nol kecil terbentuk, pantes … nggak pernah beli koran Minggu sih.
Sampe sini, saya melongo lagi. Kok wacana saya kayak gini, nggak terasa sedikitpun harum-harumnya akademis. Capek deh, nulis makalah terus. KAKU. Sekali-sekali “nyeleneh” gini, asyik. Ampun Tuhan, ini gaulnya komunitas sastra, bebas berbicara tapi terikat pada norma aturan dan moral, meninggikan derajat, mendekatkan diri pada sang Pencipta, dan mengeyahkan arogansi keilmuan yang terkadang bertengger kokoh dan sombong.
Tentang sastra koran, saya tidak berani berkomentar banyak. Masa remaja saya isi dengan membaca cerpen dalam majalah Gadis, saat dewasa saya membaca juga cerpen di majalah Kartini dan Femina, dua majalah yang berjaya cukup lama dan memberi peluang dan ruang yang cukup bagi cerpenis untuk berekspresi dan bereksplorasi. Ruang yang cukup besar membantu cerpenis untuk meronta-ronta liar, mengeksplorasi dan mengekspresikan cerpen majalah adalah tempat persemaian cerpen-cerpen sebelum mereka menjalar ke koran dan berakhirlah kedigjayaannya.

Niat cerpenis koran ini membukukan cerpen korannya bukan dengan tidak ada maksud terselubung di balik semua itu. Sang jurnalis, cerpenis juga memang sedang giat-giatnya di forum akademik. Akankah mungkin di masa mendatang iapun menulis karya-karya ilmiah populer di koran dan dibukukan sebagaimana Alwasilah, Guru Besar UPI yang kesohor dengan buku Pokoknya Menulis. Dan karya-karya itu dipakai sebagai bahan ajar di kampus. Ya, hanya di kampusnya, mahasiswanya sendiri. Kampus lain dengan alasan agoransi keilmuan, MUNGKIN tidak memakainya. Cerpen koran Nasir ini, siapa audiencenya? SiApA SaJa!

Cerpen koran Nasir ini dapat dimanfaatkan oleh pelajar dan mahasiswa. Karya sastra tidak cukup untuk dibaca. Ia juga tidak cukup untuk diapresiasi atau dipreteli satu-satu unsur-unsur pembangunnya. Lupakan paradigma lama itu. Awali apresiasi sastra dengan mengaplikasikan respons pembaca sebagai paradigma baru yang tidak hanya menajamkan aspek kognitif tetapi juga aspek afektif dengan cara merinci isi cerpen, menjelaskan perilaku tokoh cerita dan mengekspresikan sikap pembaca terhadap perilaku itu, memahami mengapa tokoh cerita berkelakuan seperti itu, menyertakan perasaan, pikiran, dan imajinasi pada tokoh cerita, menghubungkannya dengan pengalaman, cerita lain, film, budaya, kehidupan sosial, serta agama, menafsirkan isi cerita, dan menilai cerita, pengarang, serta membincangkan nilai-nilai moral yang dibangun lewat cerita. Dengan demikian critical thinking siswa/mahasiswa dan kesadaran budaya mereka dapat terbangun.

Bagi saya, karya tulis, fiksi atau non fiksi merupakan aset penulisnya. Karya tulis, Rusyana, Guru Besar UPI beranalogi, adalah bendera yang dikibarkan penulisnya. Kemanapun ia pergi maka masyarakat akan mengetahuinya lewat bendera itu. Tetaplah berkiprah di sastra koran dan membukukannya. Enyahkan rasa pesimis yang senantiasa bergelayut di pundak dan memiskinkan kreativitas berpikir. Enyahkan rasa bersalah saat koran dijadikan pembungkus pisang goreng, toh kolom yang berbasis politik, ekonomi, dan sebagainya juga bernasib sama. Yang paling penting, sastra koran itu ADA. Cari celah buku ini dapat menarik simpati kaum pendidik yang terdidik untuk memanfaatkannya mengembangkan nalar dan kreativitas siswa/mahasiswa serta turut menajamkan aspek afektif (emosionalnya).

Wassalam,
Rita Inderawati Rudy