Sabtu, 21 Februari 2009

Bab III, Menyulam Hari

Bab III, Menyulam Hari




Di Ujung Kenangan






Berat senjata dengan ransel di punggung memang tak pernah dirasakan Nurdin. Tetapi menembakkan senjata atau melemparkan geranat hasil sitaan dari Belanda pernah dilakoninya dulu. Dia sangat bangga kalau berhasil menewaskan tentara musuh. Entah itu Belanda maupun Jepang.
Masih terngiang di telinga Nurdin yang kini ditambah alat bantu dengar karena fungsinya sudah berkurang, dia begitu disambut saat masuk kampung. Seragamnya memang tidak berpangkat. Tidak ada papan nama di dadanya. Hanya ada bendera merah putih, itupun warnanya sudah pudar. Hanya merahnya yang semakin merah. Mungkin terkena percikan darah musuh.
Suasana tempat tinggal Nurdin kini, memang tenang. Hanya sesekali terdengar bunyi radio. Itu pun sayup-sayup, dari kantor yang terletak di bagian depan. Sementara Nurdin menempati bagian belakang, terdiri dari kamar-kamar. Ada kursi malasnya.
Selama ini, tak pernah ada kenangan masa lalu. Yang ada, hanyalah suara-suara yang masuk ke telinga Nurdin terdengar antara ada dan tiada. Terlebih kalau alat berwarna putih yang diselipkan ke lubang telinganya terkadang terlepas kala dia tiba-tiba tertidur di kursi malas.
Atau, kalau alat itu habis baterenya, maka Nurdin tak bisa mendengar apa-apa. Termasuk nyamuk yang terbang di sekitar kupingnya. Dia hanya bisa melihat, bagaimana teman sekamarnya juga sedang tertidur.
Kulitnya keriput. Kalau berjalan memakai tongkat. Ketika tertawa, giginya ternyata ibarat bayi. Tinggal gusinya saja. Sama seperti Nurdin, teman satu kamarnya itu punya menu istimewa, bubur nasi. Dengan kecap asin, plus telor setengah matang.
Dari sepuluh kamar tempat Nurdin tinggal sekarang, penghuninya kondisinya sama. Nurdin memang tinggal di panti wreda. Tak banyak yang bisa dibuatnya.
Juga teman-teman wanitanya yang kamarnya berada di ujung sebelah kiri. Mereka biasanya hanya duduk sembari merenda. Namun pekerjaan itu tak selesai-selesai.
Ada lagi sebagian, cuma duduk-duduk. Sembari menonton televisi di ruang tengah. Menuju ke ruang tengah, ada yang naik kursi roda. Tetapi, ada juga yang merangkak.
Mereka tertawa-tawa melihat anggota DPR sidang. Menangis saat ada iklan susu bayi. Kontras sekali dengan kondisi yang sebenarnya. Karena memang mereka sudah sulit mengartikan apa yang dilihat dan didengar.
Di kalangan orang-orang tua, Nurdin merasa paling jagoan. Dia selalu ingin memimpin. Tak boleh ada yang mendahului saat makan.
Nurdin tetap merasa dia adalah komandan di lapangan. Yang selalu memberi komando. Perintahnya, selalu dikumandangkan. Entah ada atau tidak yang melaksanakan. Karena dia sendiri tak bisa mengontrolnya lagi.
Berbeda dengan ketika dia masih muda dulu. Dengan dada bidang, kulit hitam terbakar matahari, Nurdin memang jantan. Pandangannya tajam. Kakinya kuat berjalan berkilo-kilo, menembus hutan, naik gunung, mnenyeberangi sungai.
Hidungnya tajam mencium bau musuh. Karenanya, dia selalu memang dalam pertempuran.
Sayang, Nurdin tak sempat menikah. Karena ketika Indonesia sudah merdeka, justru dirinya tak menemukan lagi keluarga. Pendengarannya yang rusak karena ledakan granat di dekatnya membuatnya tak bisa berkomunikasi dengan sempurna.
Sampai tua pun, Nurdin tak mempunyai pendamping. Kalaupun ada, bekas anak buahnya yang juga mendaftarkan dirinya sebagai anggota veteran.
Pagi ini, ketika batere alat pendengarnya baru diganti, dia mendengar pengumuman diadakan perlombaan tarik tambang memperingati hari kemerdekaan 17 Agustus.
Sontak, dia mengembangkan dada. Terlebih ketika terdengar lagu-lagu perjuangan. Mulailah Nurdin menghitung-hitung musuh yang dibunuhnya. Juga teman-temannya yang menjadi korban. Dia mau ikut tarik tambang.
Di lapangan bola tak jauh dari panti, memang ada gelaran memperingati hari kemerdekaan RI. Panitia setempat menggelar acara dengan engajukan propsal ke berbagai pihak. Ditambah bantuan sponsor, teriakan peserta yang menjadi pemenang sampai ke telingan Nurdin.
Bukan hanya lari karung. Ada lomba makan kerupuk, panjat pinang, main gaple yang cukup ramai pesertanya.
Bantuan yang didapat, lumayan besar. Tetapi, hadiah yang dibagikan tak seberapa. Itu yang membuat bisik-bisik warga. Bahkan, ada yang nyaris berkelahi. ”Kamu jangan bicara seperti itu. Jangan bicara di belakang, kemaren waktu rapat, tak ada protes,” ujar Roni, anak Ketua RT yang menjadi ketua panitia menuding rekannya yang sebelumnya ikut sibuk mengantarkan proposal.
Teriakan-teriakan panitia mempertengkarkan bantuan untuk perayaan hari kemerdekaa kemudian reda. Itu tak terdengar oleh Nurdin. Dia hanya ingin ikut meramaikan. Apalagi, di depan panti dia melihat anak-anak berlompatan membawa hadiah kemenangannya.
“Saya pahlawan. Apa pahlawan tidak boleh ikut lomba tarik tambang? Saya mau ikut. Allah akbar,” teriaknya.
Nurdin berlari. Napasnya terengah-engah. Di belakangnya, dilihatnya pasukan musuh terus memburunya. Di depan, ada sungai membentang. Airnya deras. Ketika dia membalik, senjatanya tak berpeluru. Hanya ada geranat di pinggang. Dicabutnya geranat, lalu ditariknya picu. Sayang, geranat itu meledak di tangan. Nurdin sempat tersentak. Dia sadar itu adalah bayangan.
Dia kembali berteriak, “Allah akbar.”
Sayang, teriakannya sangkut di tenggorokan. Tak ada suara yang keluar. Nurdin hanya terhenyak. Seorang perawat mendekat. Diusapnya dada sang pahlawan dengan lembut. Tak biasanya, kali ini tak ada denyut nadi. Pas 17 Agustus 2004, Nurdin menghembuskan napas. Dia sudah menghitung jasa-jasanya. Tuhan juga pasti.

Palembang, 17 Agustus 2006










Menutup Hari







Tangannya tak sempurna lagi. Dari pergelangan hingga siku, terlihat jelas bekas luka. Bukan sisa perkelahian karena nakal, tetapi terkena granat tentara Jepang,

Begitupun kakinya, tak bisa lagi berjalan tegap. Karenanya, kalaupun dia tidak bisa menghormat kalau saja bertemu bekas komandan, bukan karena kurang ajar. Tetapi, memang tak bisa lagi mengangkat tangan dan langkahnya tak lurus lagi.

Di usia senjanya, lelaki yang dulu punya suara keras dan biasa mengomando anak buahnya untuk mengambil posisi ketika menyerang markas Jepang, memang tak segagah dulu lagi.

Disuruh berlomba jalan cepat dengan anak taman kanak-kanak pun dia bakal kalah. Tetapi tidak semangatnya. Sama seperti dulu, dia tidak mau bergantung kepada orang lain. Meski itu anaknya sendiri.

Karenanya, dia masih bisa marah ketika anaknya membelikannya rokok saat membezuknya. “Tak usah berbaik-baik. Aku tak menghisap rokok itu. Cukup rokok gudung* ini,” ujarnya menepis rokok kretek yang dibawa anak semata wayangnya.

Nurdin, demikian papan nama tertulis di depan rumah tua yang megah dan tua serenta pemiliknya, memang kini tinggal sebatang kara. Kalaupun anaknya tak tinggal di rumah itu, bukan karena anaknya tak sayang dengannya. Bukan pula karena dia tak ingin anaknya menumpang di rumah itu.

Tetapi, karena anaknya memang bekerja di daerah. Sebagai guru. Anak dan istrinya pun diboyong. Sementara sang ayah, bersikeras tak mau ikut.

Dulu, di rumah itu ada dua bahkan lebih anak saudaranya ikut tinggal. Menemani sekaligus disekolahkan. Kini, semuanya sudah menyelesaikan pendidikan. Dan dapat pekerjaan.
Dengan uang yang diterimanya bulanan karena tercatat sebagai pejuang, Nurdin memang bisa mencukupi kebutuhan. Ditambah tabungan hasil bisnisnya.

Karenanya, lelaki yang ditinggal istri ketika Indonesia baru merdeka. Kini hidup sebatang kara. Sejak setahun terakhir.

Tak ada pekerjaan yang dilakoninya. Rutinitas hanya mendengar siaran radio. Bosan, lalu menyetel televisi hitam putihnya. Perkembangan politik pun diikutinya. Termasuk ceramah agama.

Nurdin memang bukan kiyai. Tetapi dia merasa insyaf dan bertobat. Dosa-dosa masa lalunya kini berusaha dikuburnya. Apalagi, setelah ditinggal istri, sebagai lelaki yang belum begitu tua dia masih membutuhkan belaian.

Lalu, iseng-iseng dia pun melampiaskannya. Lumrah. Tetapi lama baru disadarinya bahwa itu tak ada ampunnya. Dan diapun bertobat.

Termasuk ketika di masa peperangan dulu sempat iseng sering mengintip wanita mandi di bawah Jembatan Ampera. Kenangan itu kembali teringat di kala tuanya.

Karenanya, seringkali Nurdin terbangun dari tidur. Mimpi itu selalu terulang. Bagaimana dia melihat pacarnya dulu diperlakukan serdadu Jepang dengan kurang ajar. Sampai akhirnya dia bertekad membalas dendam.

Awalnya, memang dia ikut masuk-keluar hutan berjuang dengan alasan dendam. Tetapi akhirnya, dia mengangkat senjata karena memang merasa wajib membebaskan dari cengkeraman Jepang.

Maka, ayunan parangnya pun semakin bersemangat mengarah ke tentara Jepang. Begitupun senjata kecepeknya.

Tatkala Belanda kembali ingin berkuasa, dia pun ikut berjuang. Lima hari lima malam, dia bertempur di pinggir sungai Musi.

Karenanya, sesekali waktu dia termangu ketika melihat relief perjuangan yang dipatrikan di dinding Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera). Meski tak ada yang mirip dirinya. Dia tak kecewa. Nurdin yakin dia ada diantara mereka.

Yang lebih menyedihkan, orang yang lahir dan dibesarkan serta mencari penghidupan di daerah ini, banyak yang seakan tak melihat relief perjuangan yang di pajang di Monpera itu. Mereka lebih bangga dan tertarik melihat Jembatan Ampera. Hanya saja, maunya dia, Monpera juga bisa dilirik dan dibanggakan.

Dengan kondisi itu, Nurdin pun sebenarnya ikut bangga. Dia juga bangga melihat Sungai Musi kini sudah berubah. Jembatan Ampera masih tegak. Meski tuanya sudah semakin bertambah. Makin tua makin megah seakan membuat arus Sungai Musi tak berdaya. Arus derasnya tak mampu menggoyah tiang-tiang jembatan.

Seiring bentangan waktu, jembatan serupa pun telah dibangun. Hanya saja, tetap Ampera yang termegah.

Itu yang tak bisa ditiru oleh manusia. “Saya semakin tua. Perjuangan untuk hidup dilanjutkan oleh yang lain yang terus lahir. Begitu seterusnya. Itu memang alami. Anakku pun begitu. Nanti dia akan sampai pada batas pengabdiannya. Diteruskan oleh keturunannnya. Tak bisa kita melawan arus alami. Tuhan sudah mengatir semuanya. Kalau sudah sampai waktunya…….”

Hanya kalimat itulah, yang menjadi goresan terakhir dari Nurdin yang terbaca oleh anaknya yang sengajadatang membawa anak dan istrinya berkunjung ke rumah orang tuanya. Maksudnya, ingin berlibur selama anak-anaknya libur sekolah. Sekalian mengkhitankan anaknya.

Biar sang kakek bisa melihat bagaimana dirinya tidak memarahi anaknya yang nakal sesudah burungnya dipotong. Sama seperti perlakuan ayahnya kepada dirinya.

Sayang, keinginan itu tak terkabul. Kedatangannya harus diisi kesibukan mempersiapkan kain kapan dan memberitahu tetangga, keluarga dan kenalan lainnya ikhwal akhirnya perjuangan sang ayah.

Buku harian itu masih terbuka dengan pulpen masih dalam genggaman seolah menjadi laporan pertanggungjawabab sang ayah. Dia telah siap menghadap Sang Pencipta.


* Rokok dari daun yang dikeringkan dan diisi tembakau.


Palembang, 16 Agustus 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar