Sabtu, 21 Februari 2009

Bab II Jembatan Bergincu

Bab II, Jembatan Bergincu

Di Bawah Jembatan

Hari masih pagi, matahari seperti enggan menampakkan kegarangannya. Tetapi lelaki separo baya dengan keruntung* di bahunya itu tampak bersemangat mencari tempat yang sepi. Untuk dia duduk, menggelar koran bekas yang memberitakan penggusuran, lalu diletakkannya keruntung. Dan mulailah dia memasuki babak baru yang tenang. Mimpi.
Suara dengkurnya tidak pernah disadarinya dan diketahuinya. Tidak seperti para pejabat yang beruntung diberitahu oleh istrinya bahwa dia mendengkur. Meski awalnya akan marah karena biasanya dia selalu menertawai bawahannya yang tidur mengeluarkan liur** dari sela bibirnya dan mendengkur saat rapat di kantornya. Sang istri akan disembur kalau menyebutnya seperti itu.
Ini berbeda dengan lelaki yang dulu pernah punya istri tapi jarang digaulinya dan jarang bersemuka. Karena dirinya harus meninggalkan wanita itu di malam pertama, usai akad nikah tanpa pesta perkawinan. Dia harus buron karena perbuatannya sendiri merampok, menggarong, dan perbuatannya tercium petugas. Ternyata biaya nikah dan menghidupi istri dan keluarga istrinya atas perbuatannya itu.
Ada memang, dua minggu setelah itu dia kembali ke rumah mertuanya sembunyi-sembunyi di malam hari. Selama dua bulan, dia aktif mengetuk pintu di malam hari. Perasaan was-was menggelayutinya. Sehingga meski kewajiban untuk kebutuhan lain-lainnya selalu rutin, kebutuhan biologis terkadang tak terlaksana. Kalaupun bisa, cuma sekedarnya. Sampai akhirnya karena kondisi sangat tidak memungkinkan, desa tempat kelahirannya di daerah Muaraenim yang berjarak sekitar 150 km dari Palembang pun ditinggalkan sepenuhnya. Yang mencarinya bukan cuma polisi tetapi juga para korban yang sebagian ada yang sempat mengenalinya ketika beraksi.
Kini di perantauannya telah belasan tahun dia tak pernah melihat rupa istrinya, Arlena. Entah masih merasa menjadi istrinya, sudah pernah menimang bayi atau sudah menjadi istri orang.
Dalam tidur pun, lelaki yang jarang dipanggil namanya karena dia lebih sering dipanggil dengan sebutannya, tukang keruntung, tak pernah memimpikan istrinya. Meskipun kalau tertidur dia selalu nyenyak dan tak pernah absen bermimpi. Memang, suara bising kendaraan yang lalu lalang di atas Jembatan Ampera, entah itu motor kreditan atau mobil mewah, baginya itu tak mengusik. Dia selalu lancar bermimpi.
Mimpinya selalu indah. Meski terkadang sedikit menyeramkan. Tak seperti hidupnya yang terlunta-lunta, tak sedikit pun indah, bahkan semuanya suram. Tak ada tempat berteduh, kecuali di tempat-tempat umum yang sepi. Bukan tempat-tempat sepi yang umum. Yang biasa digunakan orang-orang berduit. Yang biasanya bosan tidur di rumah, lalu menginap di hotel.
Dalam mimpinya kali ini, Djakfar melihat dengan jelas dia menjadi walikota. Lalu dengan kekuasaannya dia memanfaatkan jembatan bukan sekadar untuk tempat berteduh dari matahari pagi atau dari hujan yang datangnya terlalu cepat.
Dia mengubah aturan yang ada. Kalau sebelumnya tidak boleh berjualan di atas jembatan yang dibangun dengan biaya pampasan perang Jepang itu, kini diperbolehkannya. Menurutnya itu sesuai dengan nama jembatan, Amanat Penderitaan Rakyat yang disingkat Ampera. Asal membayar karcis melalui retribusi dan menambah kas daerah yang kemudian digunakan untuk mengusir pedagang kaki lima, menggusur pengemen atau mengembalikan pengemis ke asalnya, di desa sana, maka semuanya tidak ada yang tidak boleh.
Kalaupun ada larangan yang diatur melalui peraturan daerah diputuskan oleh dewan perwakilan rakyat, maka dia berani membuat aturan istimewa. “Itu namanya, aturan khusus,” ujar Djakfar kepada para pendemo yang menolak keputusannya.

“Seperti keputusan saya menerima kalian para pendemo yang melakukan aksi di saat hari libur. Kan mestinya tidak boleh mendemo saya saat saya sedang lembur hari ini. Besok saja, mestinya. Tetapi saya akan salah kalau tidak menerima warga yang telanjur datang. Padahal, kamu kan mestinya tidak harus datang ke saya. Datangi saja, ketua RT yang telah membantu petugas pendataan. Mereka itu yang membuat nama-nama kalian tidak masuk daftar penerima dana kompensasi BBM,” ujar Djakfar berwibawa yang saat itu mengenakan safari lengkap dengan kopiah ketika menerima warga miskin memprotes banyak orang kaya yang menerima, sementara mereka yang miskin justru tidak terdata. Sehingga tidak bisa ikut antre di kantor pos untuk mencairkan duit yang jumlahnya lumayan.
Yang lebih menyakitkan lagi, mereka yang antre di kantor itu banyak yang pakaiannya mahal. Sakitnya lagi, begitu mendapat dana itu, mereka langsung menghabiskannya di pasar swalayan. Sebenarnya sama juga seperti mereka yang miskin namun beruntung terdata dan bisa mengantongi uang itu. Umumnya mereka pun langsung menghabiskan uang tersebut untuk belanja-belanja. Mumpung ada duit.
Walikota sendiri saat itu tidak melihat Djakfar ada dalam rombongan warga itu. Padahal, sebagai tukang keruntung, dengan penghasilan yang sangat kecil bahkan untuk membeli kompor pun tak sanggup, dia tergolong individu prasejahtera. Bukan keluarga prasejahtera karena setahu orang memang belum berkeluarga.
Memang, saat itu Djakfar sengaja tak ikut karena dia bermain dua kaki. Sebagai pemimpi sekaligus pemimpin, sang walikota. Sebagai tukang keruntung, Djakfar rutin mengunjungi warung kopi yang tak beratap di pinggir Sungai Musi. Kalau ada duit dia memesan kopi cangkir besar. Lalu mengambil pisang goreng. Kalau lagi buntu, dia memesan air putih panas, lalu mengambil serpihan pisang goreng.
Warga yang tak melihat respon walikota, tapi mengartikan sika pemimpinnya itu hanya berkilah, menjadi emosi. Lemparan batu pun bertubi-tubi. Masih untung, puluhan polisi pamong praja langsung mengelilingi Djakfar. Para asisten dan kepala dinas juga ikut memasang punggung. Sehingga lemparan itu tak mengenai target. Tetapi badan dan kepala pelindung walikota tetap kena. Benjol dan berdarah. Walikota sendiri selamat. Tetapi dia justru tertimpa rubuh pelindungnya yang berjatuhan menimpanya. Untung Djakfar terbangun.
Dia mengusap matanya. Kepalanya mendongak ke atas. Suara gemuruh seketika terdengar. Rupanya suara teriakan warga perkampungan Arab di Ulu dan Ilir Palembang sangat keras. Dengan terbangan*** mengiringi lagu padang pasir mereka pun berorasi bergantian.
Menolak pembangunan jembatan baru yang direncanakan pemerintah dan bakal menggusur kampung mereka. Rencananya warga dari Ilir Palembang menjemput warga Ulu Palembang di atas Jembatan Ampera. Lalu mereka bersama-sama berorasi di atas jembatan Ampera yang kini namanya kalah besar dibanding merek rokok yang bereklame di salah satu tiang pancangnya yang menghadap ke kota.
Para pendemo yang berjenggot an berkumis serta rata-rata berhidung mancung dan umumnya mengenakan sorban ini pad apoin pertama tuntutannya mempertanyakan kenapa pemerintah tidak pernah membangun Musi I. Dan kini setelah membangun Musi II lalu berencana membangun Musi III. Poin kedua juga begitu. Dan poin ketiga tuntutan itu juga sama bunyinya.
“Harusnya konsisten dong. Jangan loncat-loncat dari II ke III tanpa ada I. Kalau naik tangga, bisa kepleset. Mencari uang boleh, tapi ente jangan begitu dong caranya,” teriak koordinator aksi yang tak mau menyebut identitasnya kepada wartawan, padahal namanya tertulis di bed nama yang tergantung di lehernya. Sayang sang wartawan tak bia membaca tulisan Arab, nama itu pun tak diketahuinya.
Jumlah pendemo makin bertambah, jembatan makin sesak. Wajar Djakfar pun berlari melintasi Nusa Indah melihat langsung dari dekat suasana demo.
Kepala Dinas Perhubungan yang ditanya wartawan membuat pernyataan, inilah perlunya membangun jembatan baru. Kalau ada demo seperti ini, sopir tidak menyumpah serapah karena jalanan macet. Kalau Musi II macet juga, masih ada Musi III.
Sayang, keesokan dapati dipastikan pernyataan pejabat itu tidak ditulis wartawan karena beritanya dikalahkan oleh banyaknya korban yang berjatuhan saat demo.

Tak lama kemudian, tiba-tiba baliho bergambarkan merek rokok yang sudah terpasang selama lebih kurang tiga bulan runtuh mengeluarkan suara yang bergemuruh. Bisa dibayangkan, para pendemo pun bubar dengan sendirinya tanpa diminta. Tuntutan mereka belum sempat didengar walikota maupun gubernur dan juga anggota dewan.
Sebagian tak sempat menyelamatkan diri. Ada yang berdarah-darah, tertimpa baliho dan kerangka besinya. Ada yang patah kaki dan tulangnya. Ada yang tewas seketika. Dan banyak juga yang meninggal karena terinjak-injak.
Ambulans tak bisa mencapai lokasi karena dertean kemacetan cukup panjang. Kalau ke arah pasar mencapai Km 5. Ke arah Kertapati mencapai Stasiun Kertapati dan ke arah Plaju mencapai Nagaswidak. Sementara ke arah Jakabaring mencapai Stadion Gelora Sriwijaya.
Djakfar lah yang kemudian mengerahkan rekan-rekannya yang tidak banyak lagi sejak Pasar 16 Ilir digusur dan dipindahkan ke Jakabaring, untuk mengangkut para korban. Awalnya teman-temannya enggan membantu kecuali dengan perjanjian satu kali mengangkut ongkosnya berapa. Ditentukan terlebih dahulu. Lalu pembayarannya dipastikan di muka atau di belakang atau di bawah tangan. Djakfar yang berpengalaman menjadi walikota dalam mimpinya terpaksa berorasi sebentar dan menjanjikan bahwa para tukang keruntung nanti akan dibayar dengan kupon kompensasi BBM.
Para tukang keruntung berlari membawa keruntungnya. Mereka spontan tergerak membantu bukan karena janji akan dibayar tetapi lebih kepada sentuhan nurani melihat para korban yang berkaparan. Belum tuntas Djakfar berbicara sebagian sudah mengangkut korban.
Bantuan terpaksa manual. Para korban diangkut berlari dengan keruntung. Tempat terdekat Rumah Sakit Benteng. Setelah penuh, ke Charitas. Baru setelah itu ke Rumah Sakit Umum yang sebagian dokternya sedang mogok kerja menolak keberadaan direktur utamanya. Untung, ruang emergency masih buka. Terakhir ke RS Siti Khadijah. Tidak muat, kemudian ke rumah bersalin-rumah bersalin yang ada.
Proses pengangkutan ini sendiri tidak lancar-lancar seperti yang dibayangkan. Karena mereka tak pernah mendapat pelatihan. Apalagi, banyak tukang keruntung yang tidak hapal jalan menuju rumah sakit dimaksud. Belum lagi, keributan sempat terjadi karena penentuan lokasi ternyata tidak sesuai dengan prosedur mestinya dikirim ke rumah sakit umum dulu, kalau sudah tak mampu dan tak tertampung baru ke rumah sakit lainnya. Kali ini memang semuanya menggunakan logika terbalik dan serabutan.
Berkat bantuan tulang keruntung dan kepiawaian petugas mengatur lalu lintas akhirnya lalu lintas menjadi lancar. Barulah suara sirine ambulans terdengar di dekat Jembatan Ampera. Djakfar pun terbangun mendengar sirine ambulans yang mengangkut jenazah seorang pejabat yang meninggal karena penyakit jantung. Iring-iringan kendaraan lumayan panjang.
Tidak ada kejadian penting di atas jembatan Ampera. Kecuali beberapa orang turun dari mobil dan tampak berfoto sejenak. Lalu, seketika hujan turun deras. Reklame itu masih terpampang dan di bawahnya puluhan pengendara motor berteduh dari basahnya hujan. Memakan sebagian jalan. Begitupun pejabat Dinas Pekerjaan Umum di kantornya sedang memberikan keterangan kepada wartawan bahwa Jembatan Musi III siap dibangun. Dana ganti rugi telah disiapkan. Kalaupun ada aset budaya dan aset sejarah yang tergusur akan dipindahkan ke lokasi lain.
Sementara Djakfar, rupanya setelah sempat terbangun, kembali meringkuk di samping keruntungnya. Karena baginya memang percuma menunggu orang memanfaatkan jasanya. Bawah jembatan itu sedang dibangun proyek wisata. Pedagangnya saja tidak ada lagi, apalagi pembeli.
Djakfar terlihat tersenyum. Dia sedang berada di ruang pendaftaran kursus bahasa Inggris minta brosur dan formulir pendaftaran. “Saya harus kursus bahasa Inggris biar nanti bisa menjadi pemandu wisata. Kalau boleh sih, untuk biaya kursusnya saya jual keruntung dulu,” ujarnya dalam hati.
Jangankan mendapat uang, Djakfar justru diangkut ke kantor polisi. Karena orang yang ditawarinya dan akhirnya membeli keruntung itu adalah anak pemilik keruntung. Dia pun digiring ke polisi dengan ancaman menjual barang yang bukan miliknya. Termasuk anak bos pun digiring dengan sangkaan menjadi penadah.
Kepada polisi, Djakfar mengatakan bahwa dia menjual keruntung tidaklah salah. Yang salah itu orang yang membuat dirinya tidak bisa lagi mencari uang dengan keruntung. “Pasar itu digusur. Gimana saya mendapat uang. Tidak ada lagi pembeli dan penjual di sana.”
Akhirnya Djakfar dan anak bos pemilik keruntung dibebaskan. Keruntung pun dikembalikan ke pemiliknya. Tetapi, sang pemilik ternyata tidak mau menerimanya kembali karena dia sudah alih usaha, menjadi pemilik pangkalan minyak tanah dan tak lama lagi akan jadi agen gas elpiji. Soalnya untuk mengimbangi rencana pemerintah melaksanakan konversi minyak tanah ke gas. “Usaha ini akan lebih menguntungkan,” ujarnya kepada polisi. Karena itu pula dia memohon Djakfar dan anak kandungnya dibebaskan. Dia mencabut kembali pengaduannya.
Terpaksalah, Djakfar membawa kembali keruntung yang sudah menjadi miliknya ke bawah jembatan “Siapa tahu saya tidak mimpi lagi. Tempat itu sudah jadi tempat hiburan para bule dan jembatan Musi I telah dibangun, lalu Musi III pun terlihat dari Musi I,” pikir Djakfar sederhana.
Dia lupa Jembatan Ampera tak bisa lagi jadi tempat mangkal. Tidak akan ada lagi tempat baginya untuk tidur pagi hari. Jangankan malam atau sore, tidur pagi saja tidak bisa lagi.

Palembang, November 2005

*Keranjang terbuat dari rotan yang dibantungkan di bahu dan digunakan untuk mengangkut berbagai jenis barang.
**Dikenal juga dengan istilah ludah basi, air ludah yang keluar dari sela-sela bibir saat tertidur dan biasnya akan mengering dan membekas ketika bangun.
***alat musik berbentuk bulat dilapisi kulit keras seperti gendang. Dipinggirnya biasanya ditambah kuningan atau kaleng untuk menambah bunyi kerincingan. Biasanya digunakan untuk mengiringi musik daerah yang biasanya ditampilkan mengarak pengantin.

(Dimuat di Sinar Harapan edisi Minggu, 22 Desember 2007)









Bertopeng Gincu


Tubuhnya memang lumayan ramping. Putih dengan sedikit bakat*. Itu pun hanya di tulang kering, kenangan masa kecil yang nakal, dan sedikit tomboy. Saat mandi hujan bersama anak seumuran, terjatuh. Terus berlari dan tak terasa kalau ada pecahan beling menyentuh tulang keringnya. Ketika hujan berhenti, barulah diketahui banyak darah mengucur dari lukanya. Akibat nakal, luka itu terus menganga dan bernanah akhirnya menjadi koreng.
Bekas nanah mengering sering terlihat mengerubungi borok itu yang terkadang ditutupi dengan kertas yang diikat dengan karet. Bocah itu tak peduli dengan sakit ngenyut-ngenyut di kakinya. Saat hujan turun, dia tetap basah-basahan. Waktu pelajaran olahraga, dia ikut main bola dan menjebol gawang lawan. Luka itu pun kembali berdarah.
Orang tuanya yang Ketua RT tidak tahu kalau anaknya, Lia atau nama lengkapnya Sri Meliawati terluka saat mandi hujan. Sepengetahuannya, anak nomor duanya itu tidur siang ketika petir dan kilat begitu ramai sebelum hujan turun.
Begitupun ibunya, yang berjualan ikan di pasar pagi Pasar 16 yang kini menganggur karena lokasi berjualannya telah digusur, sementara untuk pindah di Jakabaring, rasanya tak mampu karena sepi pembeli. Yang banyak justru pedagang yang termangu menunggu pembeli. Jangankan menawar, batang hidungnya pun sangat jarang terlihat. Ibunya tak tahu kalau anaknya yang berhidung mancung dengan alis lebat itu punya luka di tulang keringnya.
Apalagi, memang meski masih kelas I sekolah dasar, Lia tergolong mandiri. Mulai dari mandi sampai mencuci dia lakukan. Bahkan, pakaian kakaknya yang sulung dan adiknya yang belum sekolah pun terkadang dia yang mencuci. Karenanya, wajar kalau kedua orang tuanya tak begitu memperhatikan jalannya yang sedikit pincang. Karena selama ini ditegarkan ketika melewati ayahnya yang sedang menerima tamu yang mengurusi soal jual beli beras untuk rakyat miskin, saat mau pergi sekolah.

Luka itu memang lumayan besar. Terkadang nanah meleleh dari luka itu. Lalat tampak mengerubungi nanah yang menembus kaos kaki putih yang membungkus luka itu. Kalau saja, tidak ditutup kaos kaki yang mengakibatkan lengket dan saat melepas kaos kaki kembali koreng itu menganga, mungkin tidak akan membusuk. Begitupun kalau diberi obat salep atau antibiotik, mungkin hanya seminggu sudah sembuh.
Tetapi, Lia bisa menyimpan luka itu hampir tiga bulan. Dan orang tuanya tak tahu. Kalaupun akhirnya sembuh, itu lebih karena tubuhnya yang kecil masih memiliki antibody dan sekolahnya libur. Hingga ahirnya luka itu mengering karena dia tak perlu lagi mengenakan kaos kaki. Alih-alih, dia mengenakan celana panjang terus biar tidak dilihat orang tuanya. Melhat dia sering mengenakan celana panjang, ibunya tampak senang karena berpikir anaknya sudah besar. Sayang dia tidak berjualan lagi sehingga tidak bias membelikan celana panjang baru.
Prestasi belajar Lia sesungguhnya biasa saja. Yang menarik mungkin hanya kepandaiannya membuat topeng. Saat pelajaran keterampilan, dia dinilai sangat bagus oleh gurunya. Karena karya topeng kertasnya lumayan bagus. Dan topeng itu pun dikenakannya.
Dia tampak lebih dewasa menganakan topeng itu. Apalagi, dengan gincu** milik ibunya, gambaran bibir di kertas itu tampak sangat menyala. Merahnya memang sangat merah. Lia tidak tahu kalau gincu itu dikenakan ibunya setahun sekali. Dan olehnya, ketika membuat topeng, gincu yang dibalut plastik warna biru itupun tinggal separo.
Ibunya yang baru pulang berjualan sempat terkejut ketika masuk rumah melihat orang yang mengenakan topeng. Dia mengira anak kecil yang duduk di ruang tamu itu anak tetangganya yang kemarinnya mencuri uang di dompetnya.
Hampir saja dia beraksi. Kalau saja Lia tidak membuka topeng, mungkin cubitan sudah mampir di pinggangnya.
Begitu juga dengan ayahnya, yang sedang sibuk menghitung angka fiktif penyaluran beras untuk rakyat miskin, sempat mengelus dada ketika menoleh ada orang mengenakan topeng.

Dikiranya anak tetangga yang dua hari sebelumnya menangis minta bagian beras yang memang hak mereka. Namun, dijawabnya bahwa beras sudah habis disalurkan. Padahal, sebagian besar dijualnya ke warung langganan.
Tangan kirinya yang memegang rokok kretek yang hampir habis, sempat tersentak dan jatuhlah potongan rokok yang sebenarnya masih sangat nikmat untuk diisap. Tangan kanannya menutupi angka-angka jumlah beras. Kesalnya seperti sudah di ubun-ubun, ingin mengambil puntungan rokok yang masih dua hisapan lagi jelas tak bisa karena kedua tangannya difungsikan untuk pekerjaan lain.
Memastikan itu anaknya, dia pun hanya menggelengkan kepala sembari mengambil puntungan rokok yang masih menyala dan jatuh di sendal jepitnya. Sayang, puntungan rokok itu membakar sendal dan apinya telah padam. Tak bisa dirokok lagi karena lelehan karet melekat kuat di atas bekas bara api di ujung rokok yang ukurannya sudah sangat pendek.
Dia pun menarik topeng yang dikenakan Lia. Karetnya putus. Topengnya robek. “Anak nakal mengagetkan orang tua saja. Nih belikan bapak rokok,” ujarnya sedikit geram.
Lia langsung memerah matanya. Entah karena disuruh membei rokok atau topengnya yang dirusak. Yang jelas, dia mengambil uang lalu berlari. Dan taklama kemudian kembali dengan setengah bungkus rokok di tangannya.
Di tangannya masih tersisa robekan topeng. Tampak tanda tangan gurunya dan coretan nilai 9 di topeng itu juga ikut terkoyak. “Yah,” gumamnya lemah.
Sampai menamatkan SMA, Lia memang tergolong anak yang penurut. Tak diberi ongkos untuk sekolah, dia berjalan kaki ke sekolahnya yang lumayan jauh. Untung memang teman-temannya banyak juga yang berjalan kaki.
Tubuhnya berkembang bagus. Meski sering berjalan kaki ke sekolah, betisnya tidak besar. Ramping dan tetap mulus. Soalnya, di bawah rok seragamnya, dia rajin menutupinya dengan kaos kaki.
Di kelas tiga, dia mulai mengenal perasaan menyenangi lawan jenis. Beruntung, sang cowok, Gandi ternyata juga memang sering meliriknya. Jadilah mereka pun sering belajar bersama. Kalau ada pekerjaan rumah selalu dikerjakan bersama. Kalau tidak di rumahnya, ya di kosannya Gandi.
Saling senyum, saling lirik dan saling bantu memecahkan sulitnya pekerjaan rumah ataupun tugas dari guru, membuat keduanya tanpa disadari mengenal ciuman. Lalu raba-rabaan. Sampai akhirnya, tak sengaja keduanya pun melakukan hal yang sebenarnya tak boleh dilakukan.
Itu semua berlangsung tanpa rencana. Lia pun tak menyesal. Karena dia merasa Gandi selalu meperhatikannya. Hingga pengumuman kelulusan, keduanya masih terlihat berduaan. Sampai akhirnya, Gandi yang merantau dipanggil orang tuanya untuk kembali ke kotanya di Tanjungkarang, Lampung.
Hubungan melalui surat masih berlangsung hingga bulan ketiga keduanya berpisah,. Sampai akhirnya, mulai jarang dan tak ada sama sekali komunikasi.
ia sendiri tak lagi mempersoalkan Gandi. Apalagi kini dia telah sibuk dengan pekerjaan barunya, di counter hand pone. Gajinya lumayan kecil. Untuk kebutuhannya sebenarnya tidak cukup. Tapi tepas saja dilakoninya.
Di kesibukannya dia berkenalan dengan seorang pegawai negeri yang cukup royal. Yang selalu memberi uang lebih saat membeli pulsa. Kembali Lia tersentuh dan dia pun tak menampik bantuan dan harapan sang PNS, Imam.
Ternyata gaung bersambut. Seiring memngalirnya bantuan berupa uang maupun hadiah lainnya, rayuan Imam pun semakin maut. Bisa ditebak, keduanya pun berpagutan.
Lia tak serius lagi bekerja, waktunya lebih banyak untukImam. Dia pun akhirnya memilih berhenti bekerja. Setiap hari dia masih pergi kerja. Tetapi kakinya kini engarah ke rumah yang disewa Imam.
Kedunya ibarat pengantin baru. Lingkungan di rumah susun tempat keduanya menyewa, termasuk tak pedulian.
Sampai akhirnya terjadi ribut besar di rumah sewa mereka. Ketika seorang wanita datang diam-diam dan bersuara lantang beberapa menit kemudian. Yang mengejutkan para tetangga dan Ketua RT setempat. Baik Lia maupun Imam tak bisa lagi berkata-kata.
Pak RT pun mendamaikan. Mereka tak menyangka kalau keduanya belum menikah. “Saya kira mereka sudah menikah. Abis kayak pengantin baru,” ujar Pak RT lemah.
Lia pucat. Apalagi kemudian orang tuanya diminta didatangkan untuk menyelesaikan persoalan itu di kantor polisi. Ternyata tak cukup hanya di tangan Pak RT.
Sebagai istri Imam, ternyata wanita itu tak menerima perbuatan sang suaminya. Dia bahkan telah melapor polisi.
Di hadapan orang tuanya, Lia hanya terdiam di sudut ruangan. Dia tak berani menatap mata ibunya. Apalagi memeluknya untuk mencurahkan perasaan. Terlebih kepada ayahnya yang ternyata saling kenal dengan Ketua RT. Karena mereka sering ketemu saat demo menuntut tunjangan ketua RT di kantor Walikota.
Ayah dan ibunya diam dalam geram. Tak bisa menerima kenyataan yang ada. “Habis saya, kalau begini. Aku tak bisa menerima,” hanya itu yang terdengar dari mulut ayah Lia.
Dia sempat bersitegang dengan istrinya ketika pulang tanpa Lia. Tetapi, sang istri hanya menurut.
“Ayo pakai gincu dan bedakmu. Masak polos begitu. Ada job tu,” ujar seorang wanita yang menjabat GM*** di kosan mentereng tak jauh dari kampus perguruan swasta di Palembang.
Lia pun terkejut. Lamunannya lepas. Kini dia telah siap mengenakan topengnya, ditambah gincu. Apapun yang dialaminya dia harus tersenyum. Suka atau tak suka. Nanti lembaran uang pun akan mengalir ke kantongnya setelah dipotong oleh GM untuk ongkos taksi dan biaya tetek-bengek lainnya.
Topeng itu telah menyatu dengan dirinya. Saat dia berbelanja di mal menghambur-hamburkan uang, orang pun tak menyangka dia mengenakan topeng.
Kecuali lelaki yang pernah tidur dengannya. Jelas sekali, kepolosan di tubuhnya sekalipun. Apalagi, ketika memorinya terbayang ke kamar hotel tempat mereka pernah bergumul.
Hanya ketika di kamar sendirian, Lia terkadang menangis. Dia masih berpikir untuk sujud ke kaki orang tuanya. Lalu sujud di sejadah meminta ampun di hadapan Allah SWT. Namun entah kapan. Meskipun dia masih pandai mengaji dan fasih bacaan salat. Serta hapal jalan ke rumahnya.

Palembang, November 2007

*Bekas luka yang membekas di kulit.
**Lipstik
***Istilah di kalangan wanita panggilan untuk menyebut germo.
(Dimuat di Tabloid Desa Edisi 92/16-31 Juli 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar