Di Bawah Jembatan
Oleh
Muhamad Nasir
Hari masih pagi,
matahari seperti enggan menampakkan kegarangannya. Tetapi lelaki separo baya
dengan keruntung* di bahunya itu tampak bersemangat mencari tempat yang sepi.
Untuk dia duduk, menggelar koran bekas
yang memberitakan penggusuran, lalu diletakkannya keruntung. Dan mulailah dia
memasuki babak baru yang tenang. Mimpi.
Suara dengkurnya
tidak pernah disadarinya dan diketahuinya.
Tidak seperti para pejabat yang beruntung diberitahu oleh istrinya bahwa
dia mendengkur. Meski awalnya akan marah karena biasanya dia selalu menertawai
bawahannya yang tidur mengeluarkan liur** dari sela bibirnya dan mendengkur
saat rapat di kantornya. Sang istri akan disembur kalau menyebutnya seperti
itu.
Ini berbeda dengan
lelaki yang dulu pernah punya istri tapi jarang digaulinya dan jarang
bersemuka. Karena dirinya harus meninggalkan wanita itu di malam pertama, usai
akad nikah tanpa pesta perkawinan. Dia harus buron karena perbuatannya sendiri
merampok, menggarong, dan perbuatannya tercium petugas. Ternyata biaya nikah
dan menghidupi istri dan keluarga istrinya atas perbuatannya itu.
Ada memang, dua
minggu setelah itu dia kembali ke rumah mertuanya sembunyi-sembunyi di malam
hari. Selama dua bulan, dia aktif mengetuk pintu di malam hari. Perasaan
was-was menggelayutinya. Sehingga meski kewajiban untuk kebutuhan lain-lainnya
selalu rutin, kebutuhan biologis terkadang tak terlaksana. Kalaupun bisa, cuma
sekedarnya. Sampai akhirnya karena
kondisi sangat tidak memungkinkan, desa tempat kelahirannya di daerah Muaraenim yang berjarak sekitar 150 km
dari Palembang pun ditinggalkan sepenuhnya. Yang mencarinya bukan cuma polisi
tetapi juga para korban yang sebagian ada yang sempat mengenalinya ketika
beraksi.
Kini di perantauannya
telah belasan tahun dia tak pernah melihat rupa istrinya, Arlena. Entah masih
merasa menjadi istrinya, sudah pernah menimang bayi atau sudah menjadi istri
orang.
Dalam tidur pun,
lelaki yang jarang dipanggil namanya karena dia lebih sering dipanggil dengan
sebutannya, tukang keruntung, tak pernah memimpikan istrinya. Meskipun kalau
tertidur dia selalu nyenyak dan tak pernah absen bermimpi. Memang, suara bising kendaraan yang lalu
lalang di atas Jembatan Ampera, entah
itu motor kreditan atau mobil mewah, baginya itu tak mengusik. Dia selalu
lancar bermimpi.
Mimpinya selalu
indah. Meski terkadang sedikit
menyeramkan. Tak seperti hidupnya yang terlunta-lunta, tak sedikit pun indah,
bahkan semuanya suram. Tak ada tempat berteduh, kecuali di tempat-tempat umum
yang sepi. Bukan tempat-tempat sepi yang umum. Yang biasa digunakan orang-orang
berduit. Yang biasanya bosan tidur di rumah, lalu menginap di hotel.
Dalam mimpinya kali
ini, Djakfar melihat dengan jelas dia menjadi walikota. Lalu dengan kekuasaannya
dia memanfaatkan jembatan bukan sekadar
untuk tempat berteduh dari matahari
pagi atau dari hujan yang datangnya terlalu cepat.
Dia mengubah aturan
yang ada. Kalau sebelumnya tidak boleh berjualan di atas jembatan yang dibangun
dengan biaya pampasan perang Jepang itu, kini diperbolehkannya. Menurutnya itu
sesuai dengan nama jembatan, Amanat Penderitaan Rakyat yang disingkat Ampera.
Asal membayar karcis melalui retribusi dan menambah kas daerah yang kemudian
digunakan untuk mengusir pedagang kaki lima, menggusur pengemen atau
mengembalikan pengemis ke asalnya, di desa sana, maka semuanya tidak ada yang
tidak boleh.
Kalaupun ada larangan
yang diatur melalui peraturan daerah diputuskan oleh dewan perwakilan rakyat,
maka dia berani membuat aturan istimewa. “Itu namanya, aturan khusus,” ujar
Djakfar kepada para pendemo yang menolak keputusannya.
“Seperti keputusan
saya menerima kalian para pendemo yang melakukan aksi di saat hari libur. Kan
mestinya tidak boleh mendemo saya saat saya sedang lembur hari ini. Besok saja,
mestinya. Tetapi saya akan salah kalau tidak menerima warga yang telanjur
datang. Padahal, kamu kan mestinya tidak harus datang ke saya. Datangi saja,
ketua RT yang telah membantu petugas pendataan. Mereka itu yang membuat
nama-nama kalian tidak masuk daftar penerima dana kompensasi BBM,” ujar Djakfar berwibawa yang saat itu
mengenakan safari lengkap dengan kopiah ketika menerima warga miskin
memprotes banyak orang kaya yang
menerima, sementara mereka yang miskin justru tidak terdata. Sehingga tidak
bisa ikut antre di kantor pos untuk mencairkan duit yang jumlahnya lumayan.
Yang lebih
menyakitkan lagi, mereka yang antre di kantor itu banyak yang pakaiannya mahal.
Sakitnya lagi, begitu mendapat dana itu, mereka langsung menghabiskannya di
pasar swalayan. Sebenarnya sama juga seperti mereka yang miskin namun beruntung
terdata dan bisa mengantongi uang itu. Umumnya mereka pun langsung menghabiskan
uang tersebut untuk belanja-belanja. Mumpung ada duit.
Walikota sendiri saat
itu tidak melihat Djakfar ada dalam rombongan warga itu. Padahal, sebagai
tukang keruntung, dengan penghasilan yang sangat kecil bahkan untuk membeli
kompor pun tak sanggup, dia tergolong individu prasejahtera. Bukan keluarga
prasejahtera karena setahu orang memang
belum berkeluarga.
Memang, saat itu
Djakfar sengaja tak ikut karena dia bermain dua kaki. Sebagai pemimpi sekaligus
pemimpin, sang walikota. Sebagai tukang keruntung, Djakfar rutin mengunjungi warung kopi yang tak beratap di pinggir
Sungai Musi. Kalau ada duit dia
memesan kopi cangkir besar. Lalu
mengambil pisang goreng. Kalau lagi
buntu, dia memesan air putih panas, lalu mengambil serpihan pisang goreng.
Warga yang tak
melihat respon walikota, tapi mengartikan sika pemimpinnya itu hanya berkilah,
menjadi emosi. Lemparan batu pun bertubi-tubi. Masih untung, puluhan polisi
pamong praja langsung mengelilingi Djakfar. Para asisten dan kepala dinas juga ikut memasang punggung. Sehingga
lemparan itu tak mengenai target. Tetapi badan dan kepala pelindung walikota
tetap kena. Benjol dan berdarah. Walikota sendiri selamat. Tetapi dia justru
tertimpa rubuh pelindungnya yang berjatuhan menimpanya. Untung Djakfar
terbangun.
Dia mengusap matanya.
Kepalanya mendongak ke atas. Suara gemuruh seketika terdengar. Rupanya suara teriakan
warga perkampungan Arab di Ulu dan Ilir Palembang sangat keras. Dengan
terbangan*** mengiringi lagu padang
pasir mereka pun berorasi bergantian.
Menolak pembangunan jembatan
baru yang direncanakan pemerintah dan bakal menggusur kampung mereka.
Rencananya warga dari Ilir Palembang menjemput warga Ulu Palembang di atas
Jembatan Ampera. Lalu mereka bersama-sama berorasi di atas jembatan Ampera yang
kini namanya kalah besar dibanding merek rokok yang bereklame di salah satu
tiang pancangnya yang menghadap ke kota.
Para pendemo yang
berjenggot an berkumis serta rata-rata berhidung mancung dan umumnya mengenakan
sorban ini pad apoin pertama tuntutannya mempertanyakan kenapa pemerintah tidak pernah membangun Musi I. Dan kini setelah membangun Musi II lalu
berencana membangun Musi III. Poin kedua juga begitu. Dan poin ketiga tuntutan
itu juga sama bunyinya.
“Harusnya konsisten
dong. Jangan loncat-loncat dari II ke III tanpa ada I. Kalau naik tangga, bisa
kepleset. Mencari uang boleh, tapi ente jangan begitu dong caranya,” teriak
koordinator aksi yang tak mau menyebut identitasnya kepada wartawan, padahal
namanya tertulis di bed nama yang tergantung di lehernya. Sayang sang wartawan
tak bia membaca tulisan Arab, nama itu pun tak diketahuinya.
Jumlah pendemo makin
bertambah, jembatan makin sesak. Wajar Djakfar pun berlari melintasi Nusa Indah
melihat langsung dari dekat suasana demo.
Kepala Dinas
Perhubungan yang ditanya wartawan membuat pernyataan, inilah perlunya membangun
jembatan baru. Kalau ada demo seperti ini, sopir tidak menyumpah serapah karena
jalanan macet. Kalau Musi II macet juga, masih ada Musi III.
Sayang, keesokan
dapati dipastikan pernyataan pejabat itu tidak ditulis wartawan karena
beritanya dikalahkan oleh banyaknya korban yang berjatuhan saat demo.
Tak lama kemudian,
tiba-tiba baliho bergambarkan merek rokok yang sudah terpasang selama lebih kurang tiga bulan runtuh mengeluarkan suara yang bergemuruh.
Bisa dibayangkan, para pendemo pun bubar dengan sendirinya tanpa diminta.
Tuntutan mereka belum sempat didengar walikota maupun gubernur dan juga anggota dewan.
Sebagian tak sempat
menyelamatkan diri. Ada yang berdarah-darah, tertimpa baliho dan kerangka besinya. Ada yang patah kaki dan
tulangnya. Ada yang tewas seketika. Dan banyak juga yang meninggal karena
terinjak-injak.
Ambulans tak bisa
mencapai lokasi karena dertean kemacetan cukup panjang. Kalau ke arah pasar
mencapai Km 5. Ke arah Kertapati mencapai Stasiun Kertapati dan ke arah Plaju mencapai Nagaswidak. Sementara ke arah
Jakabaring mencapai Stadion Gelora Sriwijaya.
Djakfar lah yang
kemudian mengerahkan rekan-rekannya yang
tidak banyak lagi sejak Pasar 16 Ilir digusur dan dipindahkan ke Jakabaring,
untuk mengangkut para korban. Awalnya teman-temannya enggan membantu kecuali
dengan perjanjian satu kali mengangkut ongkosnya berapa. Ditentukan terlebih
dahulu. Lalu pembayarannya dipastikan di muka atau di belakang atau di bawah
tangan. Djakfar yang berpengalaman menjadi walikota dalam mimpinya terpaksa
berorasi sebentar dan menjanjikan bahwa
para tukang keruntung nanti akan dibayar dengan kupon kompensasi BBM.
Para tukang keruntung
berlari membawa keruntungnya. Mereka spontan tergerak membantu bukan karena
janji akan dibayar tetapi lebih kepada sentuhan nurani melihat para korban yang berkaparan. Belum tuntas Djakfar
berbicara sebagian sudah mengangkut korban.
Bantuan terpaksa
manual. Para korban diangkut berlari dengan keruntung. Tempat terdekat Rumah
Sakit Benteng. Setelah penuh, ke Charitas. Baru setelah itu ke Rumah
Sakit Umum yang sebagian dokternya sedang mogok kerja menolak keberadaan
direktur utamanya. Untung, ruang emergency masih buka. Terakhir ke RS Siti
Khadijah. Tidak muat, kemudian ke rumah bersalin-rumah bersalin yang ada.
Proses pengangkutan
ini sendiri tidak lancar-lancar seperti yang dibayangkan. Karena mereka tak
pernah mendapat pelatihan. Apalagi, banyak tukang keruntung yang tidak hapal
jalan menuju rumah sakit dimaksud. Belum lagi, keributan sempat terjadi karena
penentuan lokasi ternyata tidak
sesuai dengan prosedur mestinya dikirim ke rumah sakit umum dulu, kalau sudah
tak mampu dan tak tertampung baru ke rumah sakit lainnya. Kali ini memang
semuanya menggunakan logika terbalik dan serabutan.
Berkat bantuan tulang
keruntung dan kepiawaian petugas mengatur lalu lintas akhirnya lalu lintas menjadi lancar. Barulah suara
sirine ambulans terdengar di dekat Jembatan Ampera. Djakfar pun terbangun
mendengar sirine ambulans yang mengangkut jenazah seorang pejabat yang
meninggal karena penyakit jantung. Iring-iringan kendaraan lumayan panjang.
Tidak ada kejadian
penting di atas jembatan Ampera. Kecuali beberapa orang turun dari mobil dan
tampak berfoto sejenak. Lalu, seketika
hujan turun deras. Reklame itu masih terpampang dan di bawahnya puluhan pengendara
motor berteduh dari basahnya hujan. Memakan sebagian jalan. Begitupun pejabat
Dinas Pekerjaan Umum di kantornya sedang memberikan keterangan kepada wartawan bahwa Jembatan Musi III siap dibangun. Dana
ganti rugi telah disiapkan. Kalaupun ada
aset budaya dan aset sejarah yang tergusur akan dipindahkan ke lokasi lain.
Sementara Djakfar,
rupanya setelah sempat terbangun, kembali meringkuk di samping keruntungnya.
Karena baginya memang percuma menunggu orang memanfaatkan jasanya. Bawah
jembatan itu sedang dibangun proyek wisata. Pedagangnya saja tidak ada lagi,
apalagi pembeli.
Djakfar terlihat
tersenyum. Dia sedang berada di ruang pendaftaran kursus bahasa Inggris minta
brosur dan formulir pendaftaran. “Saya harus kursus bahasa Inggris biar nanti
bisa menjadi pemandu wisata. Kalau boleh sih,
untuk biaya kursusnya saya jual keruntung dulu,” ujarnya dalam hati.
Jangankan mendapat
uang, Djakfar justru diangkut ke kantor polisi. Karena orang yang ditawarinya
dan akhirnya membeli keruntung itu
adalah anak pemilik keruntung. Dia pun digiring ke polisi dengan ancaman
menjual barang yang bukan miliknya. Termasuk anak bos pun digiring dengan
sangkaan menjadi penadah.
Kepada polisi,
Djakfar mengatakan bahwa dia menjual keruntung tidaklah salah. Yang salah
itu orang yang membuat dirinya tidak bisa lagi mencari uang dengan keruntung.
“Pasar itu digusur. Gimana saya mendapat uang. Tidak ada lagi pembeli dan
penjual di sana.”
Akhirnya Djakfar dan
anak bos pemilik keruntung dibebaskan. Keruntung pun dikembalikan ke
pemiliknya. Tetapi, sang pemilik ternyata tidak mau menerimanya kembali karena
dia sudah alih usaha, menjadi pemilik pangkalan minyak tanah dan tak lama lagi
akan jadi agen gas elpiji. Soalnya untuk mengimbangi rencana pemerintah melaksanakan konversi minyak tanah ke gas. “Usaha
ini akan lebih menguntungkan,” ujarnya kepada polisi. Karena itu pula dia
memohon Djakfar dan anak kandungnya
dibebaskan. Dia mencabut kembali pengaduannya.
Terpaksalah,
Djakfar membawa kembali keruntung yang sudah menjadi miliknya ke
bawah jembatan “Siapa tahu saya tidak mimpi lagi. Tempat itu sudah jadi tempat
hiburan para bule dan jembatan Musi I telah dibangun, lalu Musi III pun
terlihat dari Musi I,” pikir Djakfar sederhana.
Dia lupa Jembatan
Ampera tak bisa lagi jadi tempat mangkal. Tidak akan ada lagi tempat baginya
untuk tidur pagi hari. Jangankan malam atau sore, tidur pagi saja tidak bisa lagi.
Palembang, November
2005
*Keranjang terbuat
dari rotan yang dibantungkan di bahu dan digunakan untuk mengangkut berbagai
jenis barang.
**Dikenal juga dengan
istilah ludah basi, air ludah yang keluar dari sela-sela bibir saat tertidur
dan biasnya akan mengering dan membekas ketika bangun.
***alat musik
berbentuk bulat dilapisi kulit keras seperti gendang. Dipinggirnya biasanya
ditambah kuningan atau kaleng untuk menambah bunyi kerincingan. Biasanya
digunakan untuk mengiringi musik daerah yang biasanya ditampilkan mengarak
pengantin.
Dimuat di Sinar
Harapan edisi 22 Desember 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar